Halo Suamiku!

Pernikahannya (3)



Pernikahannya (3)

0"Akulah yang seharusnya minta maaf. Itu adalah janji yang sudah kita sepakati bersama … Karena… aku ingin hidup untuk diriku sendiri… aku benar-benar lelah… Aku memang orang jahat yang tidak menepati janjinya... Tolong, jangan terlalu egois."     

Setelah itu, Josh menarik kembali tangannya. Meskipun Bo Jing menggenggamnya, tapi kali ini genggaman itu telah lama mengendur, kemudian sosok Josh berbalik begitu saja.     

Waktu seolah berhenti seketika. Kini, ujung jarinya masih bergesekan dengan ujung jari Josh, sampai akhirnya ia pergi, dan semakin jauh.     

Bahkan ia tidak punya waktu untuk memakai helmnya. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung mengendarai Harley dan pergi seperti angin.     

Ketika Bo Jing menatapnya lagi, hanya tersisa pasir lepas dan sosoknya yang semakin mengecil di kejauhan.     

Tolong… Jangan terlalu egois…     

Tolong… Jangan terlalu egois…     

Kalimat ini melayang di benak Bo Jing, membuat jantungnya seolah berhenti berdetak, dan seperti dihujani ribuan pisau tajam. Rasa sakit di hatinya benar-benar rmembuatnya seolah kehilangan jiwa.     

Sebenarnya ia yang kejam?     

Ataukah Josh?     

Kini, Bo Jing masih berdiri di sana. Tubuhnya yang ramping seperti pohon pinus yang lurus, namun hanya ada kesepian yang menyelimutinya.     

Bahkan matanya benar-benar memerah.     

 ...     

Sementara itu, beberapa orang yang ada di dalam mobil di kejauhan hanya bisa menampilkan ekspresi konyol.     

Bahkan di sana, keheningan tak lagi bisa dihindarkan.     

**     

Di suatu kamar mandi yang dipenuhi kabut, terlihat pancuran air yang membasuh tubuh sesosok gadis cantik yang berjongkok di lantai sambil memegang lututnya. Terdengar suara isak tangis yang samar. Dari keputusasaan hingga kemudian berubah tak terkendali, tangisnya berangsur-angsur meledak, sampai akhirnya hanya menyisakan ratapan yang memilukan.     

"Kenapa kamu memperlakukanku seperti itu, kenapa... kenapa kamu seperti itu... Aku membencimu... Aku membencimu..."     

"Brengsek! Dasar brengsek...!"     

Dengan tangisan nyaring, tampak sesuatu menabrak cermin dan seketika cermin itu hancur berantakan.     

 ...     

Setelah Josh keluar dari kamar mandi, tidak terlukis emosi apa pun di wajahnya kecuali matanya yang sedikit bengkak dan merah.     

Tubuhnya terbungkus handuk mandi, lalu ia mengambil ponselnya yang telah dibanjiri banyak pesan dan juga panggilan tak terjawab.     

Kebanyakan dari pesan itu dikirim oleh rekan satu timnya. Ia jarang mengalami kekalahan, jadi banyak dari mereka yang memberikan semangat. Kali ini, ia hanya membaca sekilas dan tidak memberikan balasan. Ada lebih dari sepuluh pesan dan isi dasarnya sama, tetapi ia masih melihat semua informasi dari orang-orang yang mengirimnya pesan dengan tergesa-gesa, seolah-olah ia ingin melihat apakah ia melewatkan informasi seseorang.     

Namun.     

Tidak ada.     

Bahkan telepon pun tidak     

Kini, ia tidak tahu apa yang ia rasakan dalam hatinya.     

Dengan lemah, ia terduduk di lantai sambil bersandar di sofa. Rambutnya masih basah. Kemudian, ia menarik sekotak rokok dari meja teh, mengeluarkan satu, mengambil korek api, menyalakannya, mengambil napas dalam-dalam, kemudian sebuah lingkaran asap yang terlihat samar menguar di udara. Setelahnya, penampilannya saat ini berubah menjadi bayangan.     

Mungkin karena merokok terlalu cepat, alhasil ia tersedak dan batuk hebat.     

Di saat yang bersamaan, ponselnya tiba-tiba berdering.     

Saat ini, ia masih terbatuk-batuk dan langsung menjawab panggilan itu tanpa melihat layar, "Uhuk, uhuk... Halo...!"     

Hanya da keheningan di ujung telepon.     

Tepat ketika ia sepertinya merasakan sesuatu yang tidak beres, tanpa sadar ia hendak melihat ID penelpon. Namun belum sempat ia melihatnya, terdengar suara rendah seorang pria tanpa emosi apa pun di sana.     

Entah apa yang pria itu katakan, yang pasti ketika Josh mendengar seksama, ia perlahan melebarkan matanya, seluruh tangannya gemetar, telepon genggamnya tergelincir dan jatuh ke lantai tanpa bisa dicegah.     

Bahkan puntung rokok yang dipegangnya telah membakar dirinya sendiri, tetapi ia tidak peduli tentang apa pun. Tiba-tiba, air mata besar membanjiri wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan dengan cepat mengenakan pakaiannya, lalu berlari keluar. Ia segera menghentikan sembari menangis, "Tuan, rumah sakit, rumah sakit..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.