Halo Suamiku!

Sudah Waktunya (3)



Sudah Waktunya (3)

1"Zihe, kamu… kenapa? Cepatlah kemari."     

Sang Xia menatapnya dengan bingung sekaligus terkejut. Tentu saja ia tidak tahu mengapa bocah ini tiba-tiba berhenti.     

Su Zihe hanya melirik samar ke arah Sang Xia dan kemudian sudut bibirnya sedikit bergetar. Sepertinya itu semua karena ia merasa tidak nyaman untuk berbicara lebih banyak akibat kegagapannya. Sebenarnya ia memiliki banyak pertanyaan, tapi ia mencoba untuk menekan pertanyaan-pertanyaan itu dalam hatinya.     

Detik berikutnya, Sang Xia beranjak begitu saja.     

Sementara itu, Anthony melambai pada mereka. Ia telah duduk di meja dengan segelas limun yang diisi dengan irisan lemon. Terlihat juga setumpuk dokumen di depannya, yang tampak seperti dokumen penandatangan kontrak.     

Sang Xia tersenyum dan benar-benar dalam suasana hati yang baik sekarang.     

"Zihe, apa kamu tidak tahu jika Anthony ingin menandatangani kontrak denganmu? Hari ini dia memintaku memanggilmu untuk membicarakan tentang penandatanganan kontrak. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa kita dapat bekerja sama setelah ini. Aku turut berbahagia untukmu."     

Setelah Sang Xia menyelesaikan kalimatnya, ia sedikit mendongak sembari menatap Su Zihe yang ada di sisinya. Bocah itu tampak tersenyum samar. Kemudian, Sang Xia melanjutkan, "Sejujurnya, aku sendiri juga merasa sangat senang."     

Alis Su Zihe yang sebelumnya menegang tampak meregang perlahan setelah mendengar penuturan Sang Xia. Lalu, ia tersenyum malu-malu padanya dan kemudian mengikuti langkah Sang Xia menuju ke arah Anthony.     

Anthony duduk di seberang mereka. Kali ini, janggutnya yang putih tidak membuatnya terlihat semakin tua, melainkan justru menambah pesona menawan seorang paman.     

Sesaat setelah melihat mereka duduk, ia memanggil pelayan dan kemudian bertanya kepada Sang Xia dan Su Zihe, "Apa yang ingin kalian minum?"     

"Kopi."     

"Air."     

Su Zihe mengatakannya belakangan.     

Tak lama berselang, mata Sang Xia jatuh pada kontrak yang tergeletak di atas meja tepat di hadapan Anthony, "Direktur, apakah ini kontrak yang akan ditandatangani oleh Zihe?"     

Begitu pertanyaan ini terlontar, Anthony berhenti sejenak, tetapi tampak terlihat kepalanya yang masih sedikit menunduk. Lalu ia berkata, "Sang Xia, tolong keluar sebentar. Aku telah meminta asistenku untuk mengirim sesuatu. Tolong ambilkan itu untukku."     

"Oh, oke."     

Sang Xia mengerti jika kemungkinan Anthony memiliki beberapa pertanyaan pribadi untuk Su Zihe. Itulah mengapa ia tidak banyak bertanya.     

Karena ia duduk tepat di samping Su Zihe, jadi bocah itu sengaja memberi jalan untuk Sang Xia keluar.     

Begitu Sang Xia pergi, di meja itu hanya menyisakan Anthony dan Su Zihe di sana.     

Pada saat yang sama, orang-orang yang ada di kedai kopi itu sedang menikmati minumannya dan berbincang dengan normal. Mereka semua tampak sama, tetapi entah kenapa, Sang Xia tiba-tiba menghentikan langkah sesaat sebelum mencapai pintu dan menoleh ke belakang tanpa sadar.     

Tak pelak lagi, ia mendapati Anthony dan semuanya tampak seperti biasa, hingga akhirnya, ia melihat Anthony menyerahkan kontrak dokumen kepada Su Zihe.     

Mau tak mau, Sang Xia menghela napas lega. Tampaknya rasa sesak di lubuk hatinya benar-benar tidak beralasan saat ini.     

Baguslah.     

Sepertinya, ia benar-benar terlalu banyak berpikir sebelumnya.     

Lalu Sang Xia mendorong pintu kaca dan berlalu pergi. Sementara di tempatnya, Anthony terlihat sedikit lega setelah mendapati kepergian Sang Xia. Pada saat yang sama, ia juga menatap pria kurus dan tinggi di depannya sejenak.     

"Baca sendiri dokumen ini. Jika ada pertanyaan, kamu dapat bertanya padaku."     

Tanpa ragu, Su Zihe segera mengambil alih dokumen yang baru saja diserahkan Anthony. Dari luar, dokumen itu memang tampak seperti dokumen penandatanganan kontrak pada umumnya, tetapi ketika ia membukanya dan membaca isinya di dalamnya, semua kata yang tertulis di sana tercetak menggunakan bahasa Inggris dalam warna hitam dan putih. Sontak, aura di tubuhnya tampak berbeda. .     

Tapi ia tidak segera bereaksi. Sebaliknya, ia sedikit menggerakkan tangannya untuk menelusuri kata demi kata dan terus membaca halaman demi halaman.     

Tepat di saat itu, Anthony menatap pria yang masih terlihat tenang itu tanpa emosi apa pun di wajahnya. Tiba-tiba ia mengepalkan tinjunya dengan erat, mencondongkan tubuh ke depan, merendahkan suaranya, dan bahkan hampir mengatupkan giginya, "Kamu membunuhnya! Apa kamu masih bisa disebut manusia?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.