Kau Tidak Perlu Khawatir
Kau Tidak Perlu Khawatir
Mo Yesi segera berhenti dan bertanya, "Sangat sakitkah?"
Qiao Mianmian baru saja membuka mulutnya. Namun, sebelum ia mengatakan apapun, ia mendengar Lu Rao yang berada sampingnya mendecakkan lidah, "Ckckck… Gadis kecil, biar kuberitahu. Ini pertama kalinya Yesi melayani seseorang. Jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya itu. Bahkan, Nona Shen yang tumbuh bersamanya tidak pernah diperlakukan seperti ini."
Begitu Qiao Mianmian mendengar suara Lu Rao, ia langsung merasakan hawa dingin di punggungnya, seolah ada angin dingin yang menerpa tubuhnya. Sekujur tubuhnya merinding karena sikap dingin Mo Yesi. Begitu ia mengangkat kepalanya, ia melihat mata Mo Yesi setengah menyipit. Mo Yesi menatapnya dengan mata dingin dan tatapan yang sedikit memperingatkan.
Lu Rao tertegun selama beberapa detik sebelum menyadari bahwa ia sepertinya telah mengatakan sesuatu yang salah. Ia buru-buru menjelaskan, "Gadis kecil, jangan salah paham. Hubungan antara Yesi dan Nona Shen adalah murni persahabatan. Mereka sudah saling kenal selama bertahun-tahun. Jika memang ada sesuatu, mereka pasti seharusnya sudah bersama sejak awal."
Qiao Mianmian memandang Lu Rao dengan ekspresi bingung, Sepertinya barusan aku tidak mengatakan apa-apa, kan?
"Sungguh, Mo Yesi dan Nona Shen seperti kakak-adik. Kamu jangan mengkhawatirkan itu," Lu Rao menambahkan, seolah takut Qiao Mianmian tidak akan mempercayainya.
Dua penjelasan Lu Rao malah membuat Qiao Mianmian semakin bingung. Wajah Mo Yesi juga justru semakin menggelap dan matanya semakin dingin. Lu Rao tiba-tiba mendapati bahwa wajah Mo Yesi semakin suram dan langsung menyadari bahwa seharusnya ia tidak menjelaskannya. Begitu ia menjelaskannya, kedengarannya seolah-olah Mo Yesi dan Nona Shen memiliki sesuatu.
Lu Rao langsung berpikir bahwa hidupnya begitu penting dan ia masih ingin hidup. Ia pun bergegas bangkit dan melesat ke arah pintu, "Ya… Kalau begitu, seharusnya tidak ada masalah lain di sini. Aku pergi dulu. Lain kali kita bisa pergi makan bersama-sama. Hahaha…"
Setelah Lu Rao selesai berbicara, ia mengabaikan rasa lelahnya dan kakinya bergerak cepat seakan baru saja diolesi minyak. Orang itu langsung bergegas keluar dalam sekejap mata.
Setelah Lu Rao pergi, hanya tersisa Qiao Mianmian dan Mo Yesi di dalam kantor kepala rumah sakit. Mo Yesi terus menmbersihkan luka Qiao Mianmian dengan desinfektan. Kali ini gerakannya jauh lebih lembut dari sebelumnya.
Setelah Mo Yesi menyeka semua area yang terluka, ia menyemprotkan obat Yunnan Baiyao lagi. Ketika ia hendak menyeka luka di kaki Qiao Mianmian, ia berjongkok dan mengangkat betis Qiao Mianmian dengan lembut. Napas hangatnya menerpa kaki Qiao Mianmian dari waktu ke waktu sehingga terasa sedikit basah dan agak gatal.
Qiao Mianmian menundukkan kepalanya untuk melihat ke bawah, lalu memperhatikan Mo Yesi yang mengoleskan obat padanya dengan serius. Detak jantung Qiao Mianmian tiba-tiba bertambah cepat. Mungkin karena Mo Yesi dulu adalah seorang dokter, pria itu terlihat sangat akrab dengan hal-hal ini.
Setelah Mo Yesi selesai mengurusi luka-luka lecet di tubuh Qiao Mianmian, ia menekan bahu gadis itu untuk memeriksanya dengan hati-hati. Setelah ia memastikan bahwa tidak ada yang terlewatkan, ia kemudian melepaskan Qiao Mianmian.
"Meskipun hanya goresan kecil, tetap harus diperhatikan juga," kata Mo Yesi sambil menyelipkan sehelai rambut dari dahi Qiao Mianmian ke belakang telinganya. "Saat kau kembali, ingatlah untuk mengoleskan obat secara teratur. Jangan sampai lupa."
"Baiklah, aku tahu itu," Qiao Mianmian mengangguk dengan patuh. Ia masih berpikir untuk kembali ke kampus lebih awal sehingga ia bertanya, "Kalau begitu, bisakah aku kembali ke kampus sekarang?"
Mo Yesi menganggukkan kepalanya. Ia mengangkat tangannya untuk mengecek arlojinya dan ternyata sudah waktunya kembali ke perusahaan. Masih banyak hal yang harus ditanganinya secara langsung di perusahaan. Perjalanan ini bisa dibilang sebagai jeda dari kesibukan. "Kalau begitu, ayo kita pergi," kata Mo Yesi.
Qiao Mianmian selalu menjadi anak kesayangan di kampus. Ia tidak pernah membolos dan tidak pernah pula pergi pulang lebih awal. Kelas pertunjukan di sore hari diajar oleh salah satu tutor kesukaannya sehingga ia tidak mau ketinggalan.