Buka Mulutmu, Aku Akan Menyuapimu
Buka Mulutmu, Aku Akan Menyuapimu
"Mo Yesi, kau benar-benar sangat menyebalkan." Qiao Mianmian berbalik badan dan mengambil sebuah bantal untuk menutupi kepalanya. Ia menggerutu, "Aku tidak akan makan. Bawa pergi saja makanan itu, aku tidak ingin makan apapun sekarang. Aku hanya ingin tidur."
"Tidak bisa jika kau tidak makan," jawab Mo Yesi.
Mo Yesi berpikir sejenak, lalu meletakan makanan itu di samping, kemudian membungkuk dan memeluk Qiao Mianmian. Suaranya terdengar lebih rendah dan lebih lembut. "Mianmian, anak pintar, jangan marah padaku. Aku memesan makanan yang paling kau sukai. Makan dua suap saja, ya?"
"Aku tidak mau ..."
Qiao Mianmian benar-benar kesal padanya. Pria ini benar-benar menyebalkan. Mo Yesi menidurinya selama dua jam penuh. Sekarang ia ingin tidur nyenyak, tapi Mo Yesi juga tidak membolehkannya. Mengapa Mo Yesi begitu menyebalkan?
"Kau tidak mau mendengarkanku, ya?" Mo Yesi membujuknya sebentar, tapi tetap tidak berhasil. Ia menghela napas tidak berdaya.
Wajar saja jika Qiao Mianmian marah padanya. Ia barusan ... memang sedikit keterlaluan. Ia memaksa Qiao Mianmian dengan sangat kejam. Qiao Mianmian boleh melampiaskan amarahnya seperti apapun padanya, tapi tidak boleh jika tidak makan.
Menyadari kalau bujukannya tidak berguna, Mo Yesi harus mengubah caranya. Tidak peduli dengan perjuangan dan perlawanan Qiao Mianmian, ia akan menggendong Qiao Mianmian dari tempat tidur.
Qiao Mianmian merasa sangat mengantuk. Tidak ada sedikit pun tenaga di seluruh tubuhnya. Ia sama sekali tidak nafsu makan. Ia hanya ingin tidur dengan nyenyak. Mo Yesi bahkan menolak permintaannya yang kecil itu. Mengapa pria itu begitu menyebalkan?
Saat Qiao Mianmian sudah setengah tertidur, ia dibangunkan oleh Mo Yesi. Ia sudah merasa cukup marah. Ketika amarahnya sudah mencapai puncak setelah Mo Yesi menyeretnya bangun dengan kuat dari atas tempat tidur, ia meraih tangan Mo Yesi, menundukan kepala dan menggigit punggung tangannya dengan kencang.
"Aduh, aduh, aduh."
Pria itu mengerutkan keningnya dengan sangat erat dan mendengus pelan. Begitu menunduk, ia melihat punggung tangannya digigit oleh seekor kucing liar hingga ada bekas gigi dan sedikit darah.
Ia tersenyum ringan. Setelah melihat sekilas, akhirnya Mo Yesi membiarkan Qiao Mianmian dalam posisinya. Ia mengulurkan tangan dan mengambil kotak makan siang di atas meja di sampingnya. Setelah membuka kotak itu, Mo Yesi mengambil sesendok nasi dari dalam dan membawa ke bibir gadis di pelukannya.
"Sayang, jika kau marah, kau boleh memarahiku dan mengigitku, tapi kau tidak boleh tidak makan." Suara pria itu masih terdengar sangat lembut. "Jika kau tidak makan, perutmu akan kelaparan dan membuatku sedih. Ayo, buka mulutnya, aku akan menyuapimu."
Setelah menggigit satu kali di punggung tangan Mo Yesi, amarah Qiao Mianmian hampir mereda. Kemudian, ia segera merasa menyesal. Ia melihat punggung tangan Mo Yesi yang kini menampakkan bekas gigi dengan sedikit darah di sana. Melihatnya membuat Qiao Mianmian merasa bersalah dan sedih.
"Maaf." Qiao Mianmian menggigit bibir dalamnya. Suaranya terdengar begitu lembut, bulu matanya juga bergetar lembut. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seperti seorang anak kecil yang melakukan kesalahan.
"Apakah sangat sakit?" tanya Qiao Mianmian.
"Tidak sakit." Mo Yesi menyuapkan makanan ke mulut Qiao Mianmian, suaranya rendah dan lembut. "Jika kau merasa tidak enak padaku dan ingin minta maaf, maka kau harus makan dengan baik."
Kali ini, Qiao Mianmian menjadi sangat patuh. Ia masih menyalahkan diri sendiri, dan ia membuka mulutnya dengan sangat kooperatif.
Mo Yesi perlahan-lahan menaikkan sudut bibirnya membentuk sebuah senyum. Ia mengambil sesendok makanan lagi dan menyuapkannya ke bibir Qiao Mianmian. Suaranya menjadi lebih pelan dan lembut, "Sayangku yang pintar, makan lebih banyak lagi."
Qiao Mianmian mengulurkan tangannya, ia merasa sedikit tidak terbiasa. "Aku makan sendiri saja."
Saat Mo Yesi terus menyuapinya seperti ini, membuatnya merasa seperti orang sakit di atas tempat tidur yang tidak bisa melakukan apapun dengan mandiri. Ia merasa malu dan juga sedikit tidak terbiasa. Pria itu mengabaikan tangannya yang terulur dan tetap mengarahkan sendok berisi makanan hingga menyentuh bibirnya. Dengan perintah yang agak agresif, Mo Yesi berkata, "Buka mulutmu, aku akan menyuapimu."