Diam-Diam Menikah Dengan Konglomerat

Ia Direndahkan Hingga Merasa Khawatir



Ia Direndahkan Hingga Merasa Khawatir

0Di telepon, Qiao Mianmian bisa mendengar suara pintu dibuka. Ia memperkirakan waktu yang sudah ia habiskan untuk belanja dan bertanya dengan suara rendah, "Kau sudah selesai rapat?"     

"Sudah," jawab Mo Yesi.     

Di sisi lain, Mo Yesi mendorong pintu ruangannya. Di sana, ia tidak melihat istrinya terbaring di sofa untuk menunggunya seperti yang diharapkan. Ia merasa sedikit tidak puas dan nada bicaranya terdengar sedikit kesal. "Apakah kau tidak ada di kantor? Kau pergi kemana? Bukankah sudah sepakat untuk menungguku di kantor?"     

"Aku baru saja pergi ke mall untuk membeli sesuatu." Qiao Mianmian mendengar nada ketidakpuasan pria itu dan langsung membujuk, "Aku membelikan hadiah untukmu. Tunggu aku beberapa menit lagi, aku akan segera kembali."     

"Kau membelikanku hadiah?" Nada Mo Yesi sedikit naik, terdengar sedikit kegembiraan dalam suaranya.     

Qiao Mianmian tahu bahwa ini adalah cara membujuk yang sangat baik. Ia mengulum bibir dan menahan keinginan untuk tertawa. Setelah ia batuk dua kali dan berdeham, Qiao Mianmian tersenyum dan berkata, "Ya. Tapi, aku tidak tahu kau menyukainya atau tidak ..."     

"Aku suka." Sebelum Qiao Mianmian selesai bicara, suara rendah pria itu terdengar dengan penuh kelembutan. Mo Yesi berkata dengan senang, "Aku pasti suka pada semua pemberian darimu, Sayang. Apa yang kau belikan untukku?"     

Kalimat, 'Aku pasti suka pada semua pemberian darimu' memunculkan rasa manis di hati Qiao Mianmian. Sudut bibirnya sedikit terangkat dan berkata, "Rahasia, nanti akan aku perlihatkan untukmu."     

"Baiklah, aku akan menunggumu."     

*     

Qiao Mianmian kembali ke perusahan Mo. Begitu Qiao Mianmian masuk ke kantor, ia langsung ditarik ke dalam pelukan yang hangat dan kuat oleh Mo Yesi. Sebelum ia sempat bereaksi, pria itu mencubit dagunya lalu menekan bibirnya yang panas dan lembab.     

"Huft."     

Qiao Mianmian mengangkat sepasang tangannya dan melambai di udara. Ia melirik ke arah pintu kantor yang belum ditutup. Wei Zheng yang berdiri di depan pintu sambil memegang beberapa tas belanja sedang menatap ke dalam ruangan. Wajah Wei Zheng memerah saat melihat mereka, membuat Qiao Mianmian malu dan turut merona seperti Wei Zheng.     

Tangan kecil yang melambai di udara digunakan untuk menekan dada Mo Yesi dan perlahan mendorongnya. Ciuman itu tidak berlangsung lama. Setelah bertahan selama beberapa detik, Mo Yesi baru melepaskannya. Tapi pria itu mencium dengan sangat kencang. Bahkan hanya dalam beberapa detik, bibir Qiao Mianmian sudah memerah dan bengkak karenanya.     

Qiao Mianmian mengulurkan tanganya dan menyeka bibirnya yang mati rasa. Ia mengangkat kepalanya dan memelototi Mo Yesi karena malu. Ia juga tidak enak hati melihat Wei Zheng.     

Sebaliknya, Mo Yesi merasa sangat senang dan mengerutkan bibir. Ia memeluk gadis yang harum dan lembut itu, kemudian melirik ke depan. Tatapan matanya tertuju pada Wei Zheng yang masih berdiri di depan pintu, tidak berjalan masuk. Setelah terbuai kelembutan yang ia berikan pada Qiao Mianmian barusan, ia bertanya dengan tegas, "Apa yang masih kau lakukan di sini? Kakimu sudah mengakar ke lantai?"     

Wei Zheng tampak menderita dan mengangkat tas belanja di tangannya. "Presiden Mo, bolehkah saya masuk dan meletakkan barang-barang ini sebelum pergi?"     

Mo Yesi sepertinya melihat apa yang Wei Zheng bawa. Ia mengerutkan kening tidak suka, lalu berbalik badan ke dalam kantor sambil merangkul Qiao Mianmian. "Letakkan di meja kopi dan segera keluar."     

"Oh …"     

Wei Zheng yang dapat merasakan Presiden Mo menatapnya dengan pandangan tidak suka membuat ekspresi wajahnya semakin sedih. Ia berjalan masuk ke kantor dengan ekspresi kesal. Setelah meletakkan semua barang, ia pergi sambil cemberut. Ia benar-benar merasa sangat sedih.     

Sebagai asisten pribadi yang telah bekerja pada Presiden Mo selama bertahun-tahun, ia selalu merasa memiliki eksistensi yang kuat. Tapi ... sejak Presiden Mo menikah dan ada Nyonya Muda di sisinya, Wei Zheng merasa ia sangat senggang. Sering kali Presiden Mo menatapnya dengan ekspresi merendahkan, membuat Wei Zheng merasa takut. Takut sekali.     

Takut jika Presiden Mo akan menyuruhnya pergi ke negara F.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.