Hidupnya Lebih Penting
Hidupnya Lebih Penting
Su Mohan tidak memandang Ye Fei. Ia menyilangkan kakinya, mengambil beberapa dokumen yang diletakkan dengan rapi di atas meja teh, dan membacanya. Sinar matahari menjatuhkan bayangan yang menerpa wajah tampannya dan seluruh tubuhnya tampak berpendar seperti dilapisi emas. Meskipun saat ini ia hanya mengenakan celana, keanggunan di antara gerakannya masih membuatnya terlihat seperti seorang kaisar yang berkuasa.
Namun, Ye Fei juga tidak merasa malu. Ia memandang Su Mohan dengan curiga karena pria itu tidak mengambil gelas air tadi. Setelah melirik Su Mohan, ia menelan beberapa teguk air dan menyeka bibirnya dan berlari ke belakang Su Mohan. Ia mulai mencubit bahu pria itu dan bertanya, "Apakah Tuan Su lelah?"
Hening.
"Apa Tuan Su lapar?"
Hening.
"Tuan Su, kemarin aku mabuk. Apakah aku membuat masalah..."
Masih hening tanpa jawaban.
Su Mohan terus saja terdiam tanpa mempedulikan Ye Fei. Ia hanya sesekali membolik-balik dokumen di tangannya hingga mengeluarkan sedikit suara. Ye Fei dibuat bingung saat bertatap muka dengan kebungkaman Su Mohan. Terakhir kali ia bertemu dengan bos pegadaian, Su Mohan hampir mencekiknya. Namun, kali ini Su Mohan tetap tenang dan tidak bereaksi sama sekali setelah mendapati dirinya duduk di paha pria lain. Bagaimana mungkin hal ini tidak membuat Ye Fei panik?
Ye Fei menjadi sangat bingung dan kesunyian ini membuat kegelisahannya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba, ia teringat saat Su Mohan pernah berkata, Jika aku sampai mengetahui bahwa kamu bermain dengan pria lain, aku tidak akan keberatan mengirimmu kembali ke penjara. Jika itu terjadi, aku tidak akan berurusan denganmu secara pribadi. Pasti ada banyak orang yang mau melakukan pekerjaan itu."
Pintu tiba-tiba terbuka hingga membuat Ye Fei terkejut. Ia menatap pintu dengan wajah pucat, namun ia merasa lega ketika melihat bahwa pelayan yang datang sambil mendorong kereta makanan. Melihat pelayan mengantarkan makanan, Su Mohan meletakkan dokumen di tangannya dan langsung berjalan ke meja panjang.
Ye Fei bereaksi lebih cepat. Ia mengikuti Su Mohan dengan kaki telanjang dan membantunya membuka kursi. Pelayan sepertinya tidak menyadari keberadaan Ye Fei. Mereka bersiap untuk menyajikan hidangan mereka pada Su Mohan, namun Ye Fei berkata, "Biar saya saja."
Ye Fei mengambil sendok dari tangan pelayan, lalu pelayan melihat Su Mohan. Setelah pelayan itu melihat bahwa Su Mohan tidak merespons, ia mundur ke satu sisi. Ye Fei mengambil sesendok bubur dengan sayuran dan daging cincang, lalu membawakannya untuk Su Mohan dan berkata, "Tuan Su, cobalah."
Su Mohan hanya memandang Ye Fei dengan ringan, tapi ia tidak bergerak. Ye Fei tertawa kecil, meletakkan makanan di depan pria itu, lalu kembali ke kereta makanan. Ia mulai memindah beberapa makanan lain dari kereta makanan ke meja panjang. Pelayan kemudian undur diri setelah melihat bahwa makanan telah diatur. Ye Fei berjongkok di samping Su Mohan dengan kedua tangan meraih di ujung meja. Lalu, ia menatap pria itu dengan sedih dan berkata, "Tuan Su, ini kelihatannya enak. Cobalah."
Su Mohan selalu mengabaikan semua yang Ye Fei katakan, seolah-olah ia hanyalah angin lalu. Sebagai gantinya, ia fokus menikmati makanannya dengan postur yang elegan. Kenyataannya, Ye Fei juga diam-diam sangat lapar. Air liurnya seperti ingin mengalir turun saat melihat makanan yang beraroma lezat. Sudah lebih dari 12 jam sejak ia terakhir makan tadi malam, ditambah lagi ia muntah berkali-kali sehingga perutnya sudah lama kosong. Namun, Ye Fei melihat sikap Su Mohan dan sadar bahwa tidak bisa ikut makan. Lagi pula, dibanding hal-hal ini, hidupnya lebih penting.