Miyu
Miyu
Diego bersenandung senang merasa tidak sabar mengusir kepergian para pengganggu harinya yang normal.
Ah, tidak. Satu hal yang dia lupakan. Kedua hapenya disita oleh Evie! Bagaimana dia bisa menjalani malamnya tanpa gadgetnya?? Huhuhu…
"Yuna, malam ini kau menginap dimana? Aku akan mengantarmu." ujar Evie menawarkan diri. Dia tidak tega membiarkan anak remaja ini berjalan sendirian malam-malam begini.
"Ah, kemarin aku sudah menghabiskan uangku untuk menginap di penthouse. Sekarang aku tidak punya uang untuk menginap di hotel."
Semua orang disana terpana mendengar pernyataan anak remaja tersebut. Uangnya dihabiskan hanya untuk menginap penthouse?? Kenapa tidak menginap di kamar biasa saja untuk menghemat uang?
"Jadi kak Chleo, bolehkah aku menginap disini?"
Diego merasa bulu kuduknya merinding mendengar ini. Tidak mungkin. Iblis ini berencana tinggal seatap dengannya? Apakah gadis itu gila? Apakah dia tidak takut bahaya?!
"Oh, tentu saja tidak apa-apa."
"Baiklah kalau begitu aku pulang dulu. Bye." Evie berjalan bergandeng tangan dengan Dexter menuju ke mobil mereka.
"Segera hubungi aku jika ada apa-apa." sahut Axel sembari mengelus wajah Chleo dengan lembut.
"Hm. Orang yang pertama kali akan kuhubungi pasti adalah kau." jawab Chleo dengan suara manisnya sambil menikmati sentuhan dingin pada wajahnya.
Ah, entah kenapa dia paling menyukai rasa dingin pada kulit tangan pria itu. Chleo memejamkan matanya ketika Axel menunduk untuk memberikan kecupan ringan di keningnya. Sudah menjadi kebiasaan rutin bagi Axel memberi kecupan di keningnya tiap kali mereka akan berpisah.
Sementara itu Yuna yang menyaksikan adegan kecil itu hanya tersenyum tipis. Dia bisa melihat dengan jelas pasangan sejoli itu begitu saling mencintai dan tampak bahagia.
Pertanyaannya adalah… apakah hubungan mereka akan tetap sama seperti ini begitu ingatan keduanya kembali?
"Ayo masuk. Diluar semakin dingin sekali." ajak Chleo begitu punggung Axel tak terlihat lagi.
Yuna menuruti ajakan Chleo dengan patuh sambil masih tersenyum dengan ramah.
"Malam ini kau boleh memakai kamarku. Sayangnya rumah ini hanya memiliki dua kamar, tidak seperti tempat tinggal kami di New York. Aku harap kau tidak keberatan."
Yuna menggeleng kepala dengan cepat. "Sama sekali tidak. Aku tidak keberatan tidur di kamar yang kecil."
"Jika tidak keberatan tidur di kamar yang kecil kenapa kau menginap di penthouse?" sarkas Diego.
"Agar aku memiliki alasan tidak punya uang dan aku bisa menginap disini."
Diego serta Chleo kehabisan kata-kata mendengar jawaban blak-blakan ini. Bukankah disaat seperti ini seharusnya Yuna memendam jawaban yang sebenarnya? Bukannya malah membongkarnya begitu saja!
Chleo tertawa kecil menyadari apa yang dikatakan Diego ada benarnya. Anak ini sangat lain daripada yang lain.
"Baiklah. Aku akan menunjukkanmu kamarmu agar kau bisa langsung beristirahat."
"Tunggu dulu! Jika dia tidur di kamar kakak, lalu dimana kakak tidur?"
"Aku bisa tidur disini."
Diego mendecak kesal lalu berjalan ke kamarnya sendiri. Sepertinya mood Diego luar biasa buruk hari ini. Pikir Chleo.
Setelah menunjukkan Yuna ke kamarnya sendiri, Chleo membiarkan gadis muda tersebut membersihkan diri. Lalu dia mengambil bantal serta selimut cadangan dari lemari untuk dipakainya di ruang tamu.
Namun ketika Chleo menuju ke kamar tamu, dia telah melihat Diego berbaring di sofa yang empuk lengkap dengan bantal serta selimutnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menurut kakak? Mana mungkin aku membiarkan kakak tidur di sofa? Kakak tidur di kamarku saja."
Chleo terkekeh lalu mengacak rambut adiknya dengan gemas. "Ternyata adikku sudah besar."
Diego meniru kakaknya dengan memanyunkan bibirnya. "Siapa yang bilang aku masih anak-anak? Sebentar lagi aku akan lebih tinggi dari kakak. Lihat saja nanti."
"Iya, iya. Aku percaya kok. Sekarang saja kau sudah agak lebih tinggi dariku."
Diego tertawa kecil mendengarnya. Lalu dia berpura-pura cemberut sambil menepis tangan kakaknya yang masih betah mengacak rambutnya.
"Sudah kubilang, aku bukan anak kecil lagi. Nanti rambutku rontok semua kalau kakak berantakin terus."
"Hish. Dasar anak manja. Selamat malam."
"Selamat malam."
Chleo berjalan menuju ke kamar yang seharusnya ditempati Diego dan langsung berbaring di atas ranjangnya. Dia mengambil hapenya untuk mengecek apakah ada pesan yang masuk. Dan ternyata memang ada!
'Sudah tidur?'
Chleo tersenyum membaca pesannya yang tidak lain berasal dari Axelard.
'Belum. Kau sudah sampai rumah?' tidak perlu menunggu lama pesan balasan sudah masuk.
'Belum. Rasanya waktu berjalan begitu lambat begitu tidak bertemu denganmu.'
Chleo menahan cekikikan senangnya agar tidak terdengar oleh dua orang yang juga ada didalam rumahnya. Aiya, sejak kapan pria itu pandai berkata manis?
'Hei, darimana kau belajar kalimat manis seperti itu? Apa kau membrowsingnya di internet?'
'Apakah sebaiknya aku mulai membrowsingnya? Aku mengucapkannya apa yang ada dipikiran. Lagipula, memangnya hanya kau yang bisa berkata manis?'
Chleo menutupi mulutnya dengan bantal agar cekikikannya tertahan dan teredam di bantal tersebut.
Ah, kalau begini caranya dia tidak akan bisa tidur lebih awal. Dia terlalu bersemangat untuk terus bertukar pesan dengan sang kekasih. Seharusnya begitu, tapi entah kenapa kini kelopak matanya terasa sangat berat seolah tiba-tiba rasa kantuk memutuskan untuk menyerang otaknya.
Chleo memastikan mengucapkan selamat malam pada Axel sebagai pesan terakhirnya sebelum rasa kantuknya menjadi lebih berat. Tepat selesai mengirim pesan tersebut, kelopak matanya tertutup dengan erat dan peraturan napasnya menjadi lebih teratur.
Rupanya didepan pintu kamarnya telah berdiri Vectis yang mengaktifkan atmosfir dunia mimpi dimana semua orang yang masuk ke atmosfir ini akan tertidur seketika.
Sedetik kemudian pintu kamar seberangnya dimana Yuna ditempatkan terbuka. Yuna berjalan keluar dan melirik Vectis sekilas. Lalu dia berjalan lebih jauh lagi untuk mencari sosok seseorang disaat bersamaan Vectis telah menghilang dari tempatnya.
Yuna mengerling ke ruang utama dengan kening berkerut karena tidak menemukan siapa-siapa disana. Lalu dia berjalan menuju ke halaman belakang dan tersenyum begitu menemukan orang yang dicarinya.
Dia berjalan dan berdiri di sebelah orang tersebut dengan senyuman penuh kemenangan dan tatapan mata penuh harapan.
Diego tengah memandangi langit gelap yang tampak suram karena tidak ada satupun bintang yang terlihat ketika dia menyadari ada sosok seorang yang berdiri disebelahnya.
Diego melirik sekilas kearah gadis muda itu yang menatapnya dengan tatapan berbinar-binar.
"Apa yang kau inginkan?"
Yuna menjadi kecewa karena tampaknya pemuda ini tidak mengerti apa yang diinginkannya.
"Tidak ada." ucapnya dengan sedih lalu menundukkan kepalanya.
Apakah mungkin ingatan Diego masih belum kembali? Apakah mungkin Diego masih belum mengenalinya? Tanya Yuna dalam hati dengan penuh kebingungan.
Plok!
Tiba-tiba saja dia merasa sebuah tangan besar dan hangat mendarat di atas kepalanya dengan lembut.
"Terima kasih atas bantuanmu… Miyu."
Yuna… Miyu tersenyum lebar mendengar nama julukannya keluar dari mulut Diego.
"Sudah kuduga. Kau mengenaliku." ujarnya sambil memeluk lengan pemuda tersebut.
"Heh! Kau benar-benar sudah tidak takut padaku lagi ya?"
"Ha?" Miyu kebingungan mendengar nada dingin pada Diego. Apakah dia melakukan kesalahan?
"Pertama, kau menciumku di sekolah ketika aku tidak ingat apa-apa, lalu kedua, kau nekat meminta kakakku menginap disini? Kau sungguh berani sekali."
Miyu menelan ludah dengan gugup. "Hahahaha… TIba-tiba aku merasa mengantuk, sebaiknya aku kembali dulu." secara perlahan Miyu melepaskan pelukannya dan hendak melangkah mundur menjauhi lelaki berbahaya ini.
Diego tidak membiarkannya pergi begitu saja dan langsung menangkap pinggang Miyu dengan sebelah tangannya lalu menariknya mendekat ke arahnya.
Miyu sama sekali tak berkutik ketika melihat seringaian penuh kemenangan dari pemuda itu.
"Kau pikir kau bisa kabur?"
Tanpa peringatan Diego langsung saja melumat rakus bibir mungil Miyu dengan penuh kerinduan.
Benar. Ini bukan pertama kalinya mereka berciuman.
"Aku merindukanmu." bisik Diego dengan lirih disela-sela cumbuan mereka.
Miyu tersenyum malu-malu mendengarnya. "Aku juga."
Dan sekali lagi mereka berciuman dengan penuh khidmat.
Satu lagi perbedaan yang sangat mencolok. Di kehidupan masa lalu Diego bertemu dengan Yuna Miyazaki saat dia menjalani pertukaran pelajar di Jepang ketika Diego memasuki tahun terakhir SMAnya.
Tapi kini Yuna yang datang menemuinya terlebih dulu dua tahun lebih cepat daripada pertemuan mereka yang sebenarnya.
Sepertinya Yuna yang mengingat segalanya sudah tidak bisa menahan rasa rindunya sehingga dia datang ke New York hanya agar bisa lebih cepat bertemu dengan sang kekasih hatinya.