My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu

Menembak Zombie



Menembak Zombie

1Chleo masih ingat saat dia masih SMA dulu. Banyak anak muda sering mengajaknya bermain. Karena tidak ingin diikuti para pengawal yang nantinya malah membuatnya malu, lebih baik dia membiarkan Diego mengikutinya.     

Dia juga ingat betul Diego mengajak permainan seperti ini. Entah itu menembak zombie, menembak virus atau yang semacamnya. Diego selalu keluar menjadi pemenang hingga teman-temannya merasa malu karena dihina oleh anak kecil yang usianya lebih muda dari mereka.     

Chleo tidak memarahi adiknya tapi malah ikut tertawa bersama adiknya. Dia malah bangga pada Diego yang mana akhirnya dia mendapat julukan. Chleo si ratu bias.     

Yah, untuk adik satu-satunya ini Chleo memang selalu bias dan dia tidak peduli.     

Karena itulah dia sangat merasa senang melihat adiknya bisa langsung akrab dengan pemuda yang mengisi hatinya ini.     

Entah apa yang harus dilakukannya jika sampai akhir Diego tidak suka pada Axel sementara Axel sudah memperlakukan Diego dengan baik.     

Chleo yang hanya berdiri disamping melihat dua pemuda itu asyik bermain hanya tersenyum-senyum. Biasanya dia akan merasa bosan kalau hanya melihat saja. Dia juga ingin bermain. Tapi dia tidak begitu suka bermain tembak-menembak seperti ini. Apalagi musuh yang harus ditembaknya adalah zombie.     

Wajah buruk rupa serta tulang tengkorak yang berlumuran darah membuat perutnya terasa mual.     

Tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa bosan. Malahan dia asyik menyaksikan interaksi unik antara kedua pemuda tersebut.     

Tadinya dia berpikir Axel adalah orang pendiam dan tidak suka banyak bicara. Tampaknya dia salah. Karena saat ini Axel banyak bicara dan memasang ekspresi seolah dia adalah anak remaja seumuran dengan Diego.     

"Chleo, kau mau ikut bermain?"     

Lamunan Chleo tergugah begitu mendengar pertanyaan Axel. Hatinya terasa hangat ternyata Axel masih mengingat dirinya. Dia berpikir, Axel akan terlalu asyik sendiri bermain dengan adiknya hingga melupakan dia yang hanya bisa menunggu. Bahkan sepertinya adiknya sendiri sudah lama melupakannya!     

Adik macam apa itu?     

"Tidak. Kalian saja. Aku tidak begitu pandai bermain yang ini."     

"Aku akan mengajarimu."     

"Baiklah."     

Chleo menerima pistol mainan bewarna hitam yang ukurannya cukup besar di telapak kedua tangannya. Dia mencoba memutar, memencet apapun yang dia bisa temukan.     

"Bukan seperti itu. Tapi seperti ini."     

"!?"     

Tiba-tiba saja, Axel mendekapnya dari belakang. Kedua tangannya yang memegang pistol kini diselimuti dua tangan besar. Chleo bahkan bisa menciuma aroma enak dari belakang tubuhnya.     

Deg…deg..deg.degdegdegdegdegdegdeg     

"Nah seperti ini."     

Sedetik kemudian barulah Axel melepaskan genggamannya dan berdiri menyamping agar Chleo bisa bergerak dengan leluasa. Hanya saja, semenjak Chleo didekap dari belakang, dia sudah berhenti bernapas. Barulah ketika Axel berdiri menjauh dia baru ingat untuk kembali bernapas.     

Yang menyebalkannya adalah, pria ini tampak tidak merasa bersalah dan tidak menyadari perbuatannya telah membuat Chleo terkena serangan jantung.     

Sungguh. Pria ini bisa membuatnya mati jantungan suatu saat nanti.     

Sementara Diego yang tadi sempat melihat adegan kecil itu langsung mengucek kedua matanya.     

'Aku tidak melihat apa-apa. Aku tidak melihat apa-apa.' ucapnya dalam hati bagai sebuah mantra.     

Ini pertama kalinya dia melihat kakaknya dipeluk seorang pria selain ayahnya dan pamannya. Dan itu juga pertama kalinya dia melihat kakaknya merona merah seperti gadis yang kasmaran.     

Dia sama sekali tidak ingat kakaknya pernah bersikap seperti ini saat bersama Alexis.     

Ugh! Sepertinya kakaknya ini memang benar-benar sudah jatuh cinta.     

Pada akhirnya permainanpun dimulai. Karena Chleo belum pernah bermain jenis permainan seperti ini, avatarnya sering tergigit oleh zombie. Dia malah sepertinya menjadi beban bagi Diego.     

"Ah, kakak. Kita jadi kalah nih. Ganti saja, biarkan kak Axel yang bermain."     

Axel tertawa geli melihat bibir Chleo yang mulai manyun cemberut.     

"Ronde kedua sudah dimulai tuh. Fokus saja ke monitor." ujar Axel sambil kembali mendekap Chleo dari belakang.     

Aduh… Axel menyuruhnya untuk focus ke monitor tapi kini yang dia fokuskan adalah dua tangan besar yang menangkup kedua tangannya yang kecil. Belum lagi hembusan nafas yang sempat menggelitik pipi Chleo ketika pria itu menunduk ke arahnya.     

Jantungnya berdebar-debar apalagi ketika salah satu jari Axel menuntun jarinya menekan pelatuk pistol mainan tersebut.     

Terlalu dekat, terlalu intim. Kenapa Axel tidak bereaksi apa-apa? Apakah Axel tidak merasa gugup seperti dirinya?     

Karena telah mendapat bantuan dari Axel, akhirnya Chleo bisa mengimbangi skor adiknya yang kini makin antusias terus melanjutkan permainannya. Dua pria fokus pada monitor membunuh para zombie sementara Chleo sama sekali tidak bisa fokus pada permainannya.     

Setelah berhasil meredakan debaran jantungnya, Chleo melirik kearah monitor. Rupanya mereka berhasil meringkus gelombang kedua dengan mudah dan kini mereka memasuki sebuah tempat yang gelap. Meskipun tidak ada zombie yang muncul, suara musik menyeramkan yang menjadi background music arcade permainan tersebut masih terdengar keras.     

"GROWL!!"     

"AAAAAAAAAAAAAA!"     

Tiba-tiba saja muncul kepala zombie yang mengerikan di monitor membuat Chleo terlonjak kaget. Bahkan Axel dan Diego juga ikutan kaget mendengar teriakannya. Mereka bukan kaget karena kemunculan kepala zombie, tapi mereka terkejut karena suara teriakan Chleo yang mengalahkan suara keras music thriller permainan tersebut. Bahkan para pengunjung lainnya menjadi tergugah dan melirik kearah mereka.     

Anehnya Chleo tetap terus menembaki kepala zombie terus tanpa kenal takut. Axel yang penasaran karena sasaran tembak Chleo tidak menentu, menengok ke depan sedikit untuk melihat ternyata Chleo sedang menembak sambil memejamkan matanya.     

Aduh, betapa menggemaskan sekali sih anak ini.     

"Ah, kakak. Harusnya kau menembak langsung ke otaknya, bukan ditangannya." Gerutu Diego membuat Chleo mendelik ke adiknya dengan muka cemberut.     

"Aku tidak mau main lagi, kalian saja yang main." Sahut Chleo begitu avatar keduanya mati lalu menyerahkan pistol mainan itu pada Axel.     

"Bagaimana kalua kita ke tempat lain? Sebentar lagi akan ada pertunjukkan di pusat kota."     

"Pertunjukkan apa?"     

"Dancing fountain. Sepertinya seru."     

"Benarkah? Aku juga mau lihat." Sambung Chleo dengan antusias yang melupakan sosok bayangan kepala nyaris seperti tengkorak berlumuran darah.     

Semakin lama entah kenapa Diego merasa dirinya malah menjadi obat nyamuk bagi kedua pasangan tersebut. Disaat bersamaan Axel akan terus mengajaknya bicara seolah dia bukan pengganggu sama sekali.     

Karena itulah Diego tidak peduli apakah dia akan menjadi obat nyamuk atau tidak. Lagipula kakaknya tidak mengusirnya, Axel juga merasa nyaman membawanya ikut serta.     

Tanpa Diego sadari, sedikit demi sedikit dia mendukung Chleo kalau ternyata Axel juga memiliki perasaan yang sama dengan kakaknya. Tidak. Sepertinya Axel sudah memiliki perasaan yang sama dengan kakaknya. Dia bisa melihatnya melalui cara pria itu memandang kakaknya.     

Hanya saja, ada suatu perasaan yang tidak nyaman timbul didalam hatinya. Entah kenapa sebuah suara didalam pikirannya menyuruhnya untuk membenci Axel. Dia merasa sesuatu yang kuat mendorongnya untuk menjauhkan pemuda itu dari kakaknya. Dan dia sama sekali tidak tahu alasannya.     

Sementara itu di tempat lain, ada seorang gadis yang sedang menyaksikan setiap gerak-gerik Diego.     

"Aku tidak sabar menunggu kau berulang tahun yang ke enam belas. Saat itu, kau akan mengingat semuanya." sahutnya dengan antusias     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.