Alasan Kinsey Marah
Alasan Kinsey Marah
Lama-lama Katie juga menjadi kesal. Pada akhirnya dia tidak lagi mencari Kinsey dan lebih memilih menyendiri di belakang halaman rumahnya.
Meskipun Kinsey menghindarinya, anehnya Merah tidak menghindarinya. Meskipun begitu, Merah tidak mengajaknya bermain seperti biasa. Dia hanya berbaring dan sering memejamkan matanya.
Apakah mungkin Merah juga marah padanya? Tidak hanya Merah, semua orang di Bayern juga bersikap aneh. Kenapa dia merasa semua orang di Bayern marah padanya?
Tidak kuat akan perasaan kesepian ini, Katie pergi mengeluh pada Mina. Hanya kepada wanita itu saja Katie bisa merasa memiliki seorang kakak perempuan. Dia selalu bisa merasa tenang tiap kali mencurahkan isi hatinya pada wanita itu.
Sayangnya apa yang diucapkan Mina tidak sesuai harapannya.
"Katalina, kalau aku boleh jujur, sebenarnya dalam hal ini kau yang salah. Kami juga ingin memarahimu, tapi sepertinya Kinsey sudah mewakilinya untuk kami. Karena itulah kami jadi tidak tega dan membiarkanmu saja."
"Kenapa? Aku tahu aku salah karena ceroboh, tapi waktu itu aku terpaksa melakukannya."
"Kau mengira kami marah karena kau ceroboh? Kau pikir Kinsey marah karena kau peduli pada kami atau pada Merah?"
"Memangnya bukan?"
Mina menghela napas berat ketika menjelaskan lebih lanjut. "Bukan. Kami tidak marah karena itu. Kami marah karena kau tidak memikirkan dirimu sendiri. Aku yakin Kinsey juga marah karena kau tidak peduli dengan nyawamu sendiri."
"Aku.. Itu tidak benar." Katie berusaha membantah.
"Sekarang jawab aku dengan jujur. Sewaktu kau memanggil hujan, apakah tidak pernah terbesit di pikiranmu, 'tidak apa-apa aku mati, asalkan aku bisa menyelamatkan mereka semua'."
"..." Katie tidak bisa menjawabnya. Kenyataannya, dia memang terpikir tidak masalah jika dia mati selama yang lainnya bisa diselamatkan.
"Itulah alasan kami marah. Itulah kenapa Kinsey marah. Kau tidak menghargai nyawamu sendiri, sementara kami semua peduli akan kondisimu. Bagaimana caranya kami bisa melindungimu jika kau sendiri menganggap hidupmu tidak berarti? Apa kau sadar, usia kehidupanmu tinggal kurang dari dua tahun saja? Semua orang sangat mengkhawatirkanmu."
"Tapi aku..."
"Kau pikir kami akan senang begitu luka kami sembuh sementara kau mati didepan mata kami? Kami tidak merasa senang ataupun bersyukur, tapi kami akan menyesal. Dan penyesalan serta kesedihan ini akan kami bawa seumur hidup kami."
Seolah seperti dihujani tusukan jarum di tubuhnya, hatinya juga dihujani jarum yang tajam menyayat hatinya. Tiap kalimat Mina mampu membuatnya tertekan lebih dalam dan tenggelam di dasar lautan.
Katie tidak berkata apa-apa lagi dan menjadi murung. Melihat Katie yang tampak tidak bersemangat seperti biasa, Mina memeluknya dengan erat.
"Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Kita tidak bisa memutar waktu. Jadi, kembalilah seperti dulu. Hm?" ujar Mina seraya mengelus punggungnya dengan penuh kasih sayang.
Katie juga ingin kembali seperti dulu dimana dia bisa bebas dan tersenyum seperti biasa. Tapi dia tidak akan bisa melakukannya selama Kinsey masih marah padanya.
Karena Kinsey masih tidak mau menemuinya, Katie memutuskan untuk berbicara pada Merah. Lagipula, apa yang ingin dikatakannya akan didengar Kinsey melalui Merah. Itu sebabnya, sekali lagi Katie pergi ke belakang pelataran rumahnya dimana Merah masih tidur-tiduran disana.
Katie berjalan mendekat lalu duduk di sebelah Merah. Kemudian dia mulai berbicara setelah menata perasaannya.
"Kau tahu, sewaktu aku kecil dulu, tanpa sadar aku selalu hampir melukai orang-orang disekitarku. Aku bahkan pernah hampir membunuh umbraku, satu-satunya orang yang melindungiku dari bayangan.
Ketika aku tahu bahwa aku adalah raja merah, aku semakin tidak bisa mengendalikan kekuatanku. Teman-teman sekolahku sering menindasku hanya karena aku berasal dari keluarga tak berada. Secara mental, aku merasa tertekan dan tanpa sadar emosiku melukai mereka.
Aku tidak ingin melukai mereka, aku tidak ingin siapapun terluka karena kekuatanku. Karena itulah aku memutuskan untuk menyegel kekuatanku.
Lalu, setelah segelku pecah, aku kembali ke Bayern. Mereka bilang aku terlalu lemah untuk menjadi raja merah. Mereka bilang aku tidak cocok menjadi raja merah.
Aku sering mengurung diri didalam rumah, sendirian meratapi takdir yang tidak bisa kuhindari. Memangnya, aku yang memilih untuk menjadi raja merah? Memangnya... aku yang menentukan siapa yang akan menjadi raja merah? Mengapa semua orang bersikap seolah-olah aku punya pilihan?
Kalau aku memang punya pilihan, aku ingin memilih terlahir sebagai anak normal. Aku tidak harus berpisah dengan ibuku, aku juga tidak perlu berjauhan dengan adikku."
Meskipun Katie berusaha mengucapkannya dengan suara yang tak gentar, namun matanya mulai berkaca-kaca. Tekanan batin yang dialaminya sudah terlalu berat untuknya. Dia sudah tidak sanggup menanggung beban ini.
"Kalau waktu bisa diputar ulang... aku tidak akan berlatih untuk menjadi penguasa alam. Aku hanya akan menjadi raja merah yang tidak tahu apa-apa dan membiarkan takdir menentukan kehidupanku.
Tapi.. jika aku tidak menjadi penguasa alam, aku tidak akan bisa keluar dari tempat itu. Aku sempat berpikir tidak ingin kembali dan tinggal disana. Pamanku bilang, aku bisa hidup disana selama apapun yang kuinginkan. Pendeknya usiaku akibat segel yang pecah, tidak akan bisa mempengaruhiku disana.
Lalu, aku memikirkanmu, ibuku, dan juga adikku. Aku tidak ingin menghilang begitu saja tanpa bilang apa-apa. Aku juga ingin melindungi kalian. Selama ini, aku melukai orang-orang disekitarku tiap kali aku lepas kendali. Sekarang... aku memiliki kendali dalam kekuatanku, bagaimana aku bisa egois memikirkan diriku sendiri... sementara aku memiliki kekuatan untuk menyelamatkan orang-orang yang kusayangi?"
Kalimat Katie mulai terbata-bata karena kini Katie telah menangis, dan pipinya sudah basah berlinang air mata.
"Aku sudah merasa tak berdaya saat Alpha menyerangku.. Aku merasa berada di ujung jurang saat melihat Merah kalah telak melawan Alpha. Jika kau juga... meninggalkanku.. aku.. hiks.. aku..."
Katie sudah tidak sanggup melanjutkan kalimatnya karena tangisannya yang semakin menderu. Dia menenggelamkan wajahnya ke tumpukan bulu leher Merah. Bahkan hingga detik ini, Merah sama sekali tidak bergerak dan terus memejamkan matanya.
Sebenarnya.. sampai kapan Kinsey serta Merah berniat menyiksanya? Dia sudah hampir gila karena mereka mengabaikannya.
Katie terus menangis tanpa mengetahui Merah telah membuka matanya dan menatapnya dengan sendu. Yang sebenarnya, Kinsey sudah tidak merasa marah lagi. Jika situasinya dibalik, Kinsey juga akan melakukan hal sama.
Kinsey tidak akan peduli akan nyawanya sendiri dan pasti akan menyelamatkan orang-orang yang disayanginya.
Dia telah gagal menyelamatkan ibunya, dia bahkan tidak bisa melindungi Catherine meski dia sudah menempatkan pengawasan terhadap adiknya. Karena itu dia tidak akan berpikir ulang untuk menyelamatkan orang-orang dikasihinya meski dia harus mengorbankan nyawanya.
Hanya saja... dia tetap tidak bisa tidak marah pada kecerobohan Katie. Jika dilihat situasinya, para ksatria Oostven yang terluka adalah pejuang yang tangguh. Mereka tidak akan mati begitu saja mendapat luka tersebut.
Begitu juga dengan Merah. Dia hanya perlu istirahat selama satu minggu penuh hingga lukanya pulih. Katie tidak perlu memanggil hujan dan menginfuskan energi kehidupannya ke awan.
Yah, dia tidak bisa menyalahkan Katie sepenuhnya. Wanita pada umumnya tidak akan bisa berpikir jernih begitu panik menguasai pikirannya.
"Sepertinya ini pertama kalinya kau bicara panjang lebar seperti ini."
Katie mendongak dan melihat ada seorang pria yang berdiri dihadapannya. Karena matanya dipenuhi dengan air mata, pandangannya agak kabur.
Katie mengucek kedua matanya untuk membersihkan air mata yang tersisa. Dia melihat pria itu merentangkan kedua tangannya ke samping kanan-kirinya.
"Apa yang kau tunggu?"
Katie merapatkan bibirnya menahan diri agar tidak menangis lagi. Lalu dia segera bangkit berdiri dan menghambur masuk ke pelukan yang sudah terbuka untuknya.
Kinsey langsung mendekapnya dengan erat dan mencium puncak kepala Katie berulang kali.
"Maaf, aku bersikap kasar denganmu." ujar Kinsey masih menciumi puncak kepalanya.
"Aku..hiks.. aku.." sayangnya, tangisan Katie makin menjadi menerima perlakuan penuh cinta dari pria itu.
Mungkin karena dia merasa lega atau merasa senang Kinsey telah kembali seperti sedia kala, air matanya malah mengalir semakin deras.
"Sst.. Jangan menangis lagi." lanjut Kinsey melonggarkan pelukannya untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Katie dengan kedua ibu jarinya. Namun air matanya tetap saja mengalir tidak peduli seberapa sering Kinsey menghapus air matanya. "Berjanjilah padaku kau tidak akan mengulanginya lagi. Setidaknya, jika luka itu tidak mengakibatkan kematian, jangan gunakan kekuatanmu sembarangan."
Katie mengangguk kepala dengan cepat karena dia masih belum bisa berbicara dengan benar akibat isakan yang hebat.
"Meskipun aku yang terluka, jangan gunakan kekuatanmu untuk menyembuhkanku. Janji?"
Sekali lagi Katie menganggukkan kepalanya dengan cepat. Puas akan jawaban yang diberikan, Kinsey kembali memeluk kekasih mungilnya dengan erat membiarkan Katie menangis sepuas-puasnya.
Katie melingkarkan kedua tangannya ke belakang punggung Kinsey yang kokoh. Dia masih menangis ketika menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria itu. Hanya saja kali ini bukan tangisan sedih atau putus asa seperti sebelumnya. Tapi tangisan perasaan lega yang sangat besar.
Entah sejak kapan keberadaan Kinsey merupakan sosok yang paling mempengaruhi hidupnya. Jika sampai pria itu pergi meninggalkannya atau membencinya, Katie bisa membayangkan betapa hancurnya hatinya yang lemah ini.