Ledakan
Ledakan
Meisya terbangun lebih dulu. Dia membuka matanya dan tersenyum melihat wajah suaminya yang masih tertidur pulas. Apa yang diduganya sangat benar. Semenjak mereka melakukan kegiatan bercinta pertama kali, Stanley sudah tidak mau pisah kamar.
Kadang mereka akan tidur di kamar utama, kadang mereka akan tidur di kamar Meisya. Tergantung mood Meisya dimana dia ingin tidur, Stanley selalu mengikuti keinginannya.
Semenjak itu pula, hubungan keduanya semakin dekat. Meisya mengenal Stanley lebih dalam lagi dan rasa cintanya terhadap pria itu juga semakin besar.
Stanley juga membawanya berkeliling ke Belanda seperti Leidseplein Square untuk melakukan ice skating di ice rink atau berkunjung ke museum bersejarah di Musseumplen.
Stanley juga membawanya ke Willie wanko, tempat dimana dia bisa mencicipi lima puluh macam coklat. Tapi kesukaannya adalah disaat Stanley membawanya menyaksikan konser klasik yang menyambut Natal di beberapa sudut kota.
Bahkan di hari Valentine bulan lalu, Stanley mengajaknya makan malam romantis di sebuah restauran termewah. Malam itu pula, untuk pertama kalinya Stanley menyatakan cinta padanya. Malam itu adalah malam terbaiknya karena membuatnya sangat bahagia.
Meisya beranjak dari ranjangnya dengan sangat perlahan-lahan, kemudian mengambil sebuah selimut kecil untuk dililitkan ke tubuhnya yang telanjang.
Benar. Hampir tiap malam, Stanley tidak membiarkannya tidur 'biasa'. Dan entah berapa kali mereka sudah melakukannya sejak malam ulang tahun suaminya.
Meisya membuka jendela kamarnya membiarkan angin segar menerpa tubuhnya. Dia mendengar suara ombak serta mencium aroma laut yang sangat khas.
Salju sudah tidak terlihat lagi, laut juga sudah tidak membeku lagi. Suhu disekitarnya juga tidak terlalu dingin.
Meisya sangat menikmati hari pertama memasuki musim semi. Dia pernah dengar bunga tulip akan bermekaran dengan sangat indah di Belanda. Dia ingin sekali melihatnya.
Meisya memejamkan matanya terlalu menikmati angin yang berhembus masuk melalui jendelanya hingga tidak sadar seseorang telah menghampirinya.
Siapa lagi kalau bukan Stanley, suaminya?
Meisya tersenyum geli merasakan suaminya memberinya beberapa kecupan cepat di sekitar bahu serta lehernya.
"Selamat pagi." sapa Meisya dengan senyuman lebar.
"Pagi." balas Stanley sembari mencium lama bibir ranum istrinya.
Meisya hanya mendesah pasrah dilumat oleh suaminya. Dia tahu begitu suaminya mulai mencumbunya, pagutan mereka tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Ting! Ting! Ting!
Sebuah suara dari box hitam milik Stanley diatas meja rias Meisya berbunyi dengan nyaring.
"Kenapa aku merasa ini pernah terjadi sebelumnya?" keluh Stanley memasang wajah cemberut membuat Meisya tertawa.
Ting! Ting! Ting!
"Aku benar-benar akan menyuruh Eleanor memblokir semua panggilan disaat aku ingin berduaan denganmu."
"Jangan." sahut Meisya memukul bahu suaminya dengan gemas. "Bagaimana kalau ini penting? Sana, aktifkan Selenka."
Dengan enggan Stanley melepaskan pelukannya tapi tidak sebelum kembali melumat bibir istrinya dengan singkat.
Meisya hanya geleng-geleng tapi merasa senang karena suaminya begitu mencintainya.
"Sayang, dari tadi Alpha berusaha menghubungimu. Katanya sangat penting." terdengar suara Selenka begitu Stanley menekan tombol pada box hitam tersebut.
Stanley berjalan keluar untuk mengambil hapenya yang sengaja dia tinggalkan di dalam kamarnya sendiri. Dia tidak mau diganggu saat ingin bermesraan dengan istrinya. Karena itu dia meninggalkan hapenya didalam kamarnya sementara dia tidur di kamar Meisya.
Setelah mengambil ponselnya, keningnya mengernyit melihat ada belasan panggilan tak terjawab dari Tanya. Stanley baru hendak menghubungi Tanya, teleponnya kembali berdering.
"Halo?" Stanley mendengarkan Tanya dengan ekspresi serius.
Meisya yang sudah memakai sebuah terusan gaun musim semi sederhana menyusulnya. Dia merasa heran kenapa suaminya memasang wajah tegang.
Meisya semakin dibuat bingung saat Stanley segera beranjak keluar dan turun ke lantai dasar menuju ke ruang keluarga. Selenka telah menyalakan tivi dan memasang sebuah chanel berita.
Meisya turut mengikutinya dan melihat berita tersebut. Berita itu mengabarkan ada sebuah ledakan cukup besar menghanguskan sebuah mansion di daerah pegunungan. Meisya tidak pernah ke tempat itu, tapi dia tahu mansion didaerah sana adalah milik keluarga Tettero.
"Kapan kau akan datang?" ujar Stanley kemudian masih berkomunikasi dengan seseorang di seberang. Sesekali Stanley melirik ke arah Meisya dengan tatapan cemas yang tidak dimengertinya. "Aku mengerti."
Stanley segera beranjak ke meja kerjanya begitu memutuskan koneksinya dengan Tanya. Dia segera memanggil Bella serta Audrey.
"Cek kamera cctv disana sebelum terjadi ledakan. Cari tahu dimana Kinsey sekarang? Apakah dia selamat?"
"Aku sudah mencarinya semenjak Tanya memberitahu kondisi disana, tapi aku sama sekali tidak bisa menemukan jejak Kinsey." jawab Audrey memberi laporan.
"Terus cari."
"Baik."
Melihat kegelisahan dan kecemasan yang menghiasi wajah Stanley, Meisya tidak bisa tidak terpengaruh. Dia ikut merasa gelisah dan khawatir.
Kenapa suaminya menyebut nama Kinsey? Kenapa suaminya ingin sekali menemukan keberadaan Kinsey? Apakah terjadi sesuatu?
Meisya merasa tak berdaya karena dia tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkan suaminya yang kini seperti orang kesurupan memandangi layar monitornya.
"Sial!" rutuk Stanley dengan frustrasi. "Bella, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kau mengawasi seluruh daerah mansion dan istana?"
"Maaf. Tiba-tiba ada yang menghalangi sinyal frekuensi saya. Selama beberapa menit saya dinon-aktifkan dengan paksa."
"Apa maksudmu? Tidak ada seorangpun yang bisa memaksamu log off!" Stanley tidak lagi bisa menahan ketenangannya.
Stanley tidak habis pikir bagaimana bisa mansion yang ditempati Kinsey bisa meledak di bawah pengawasannya? Dibawah perlindungan Bella?!
Apakah ini merupakan efek karena Kinsey bersama Katie? Tidak mungkin. Katie bahkan belum kembali?!
Secara refleks, Stanley membuka sinyal Brinna yang selama ini berusaha mendeteksi energi sumber kehidupan. Dia baru menyadari bahwa Brinna sudah mendapatkan frekuensi energi raja merah di beberapa tempat. Apakah itu berarti Katie telah kembali?
Stanley termenung dan keningnya mengernyit. Dia mengalamai dilema luar biasa. Dia berusaha mencari cara agar raja merah dan origin bisa saling hidup berdampingan tanpa ada kematian, tapi hasilnya nihil.
Salah satu dari mereka pasti mati jika dipaksakan hidup bersama.
Kedua tangan Stanley mengepal dengan sangat keras. Tadinya dia berharap dia bisa melupakan kenyataan ini. Tadinya dia berharap waktu berjalan dengan sangat lambat agar Katie tidak perlu kembali. Alas, tanpa terasa musim dingin telah berganti, dan kini kedatangan Katie tidak akan terhindarkan.
"Stanley." panggil Meisya berusaha memedamkan emosi yang tampak meledak dari suaminya.
Stanley mengangkat wajahnya dan melihat istrinya yang menatapnya dengan khawatir. Dia bangkit berdiri dan membiarkan Meisya memeluknya. Berada dalam pelukan istrinya bisa menenangkan hatinya yang kacau.
Dia baru menyadarinya akhir-akhir ini. Dia sama sekali tidak menyesal 'menculik' Meisya dari istana. Dia sama sekali tidak menyesal jatuh cinta pada Meisya. Hanya Meisya yang ia butuhkan. Hanya Meisya yang sanggup memberinya ketenangan tiap kali dia merasa tertekan. Wanita ini membuatnya lengkap dan penuh.
Stanley melonggarkan pelukannya dan menatap istrinya dengan sedih.
"Meimei, aku harus ke Jerman sekarang. Aku ingin memastikan apakah mayat yang ditemukan adalah sepupuku atau bukan."
"Kin.. Kinsey tinggal di mansion itu?"
Stanley menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu aku akan ikut."
"Tidak. Kau tinggal disini." jawab Stanley dengan tegas. Kenyataan seseorang berhasil menyusup masuk ke wilayah kekuasaan Tettero dan meledakkan mansion secara terang-terangan, berarti musuh mereka mulai bergerak.
Dia tidak ingin mengambil resiko membawa Meisya ke Jerman.
"Tanya akan datang sebentar lagi. Aku ingin kau tetap didalam rumah ini dan jangan keluar rumah. Biarkan Tanya yang mengurus semuanya. Selain rekan kerjaku, jangan percaya pada orang lain. Kau bisa melakukannya?"
Meisya menganggukkan kepala dengan lemah. Dia sungguh ingin menemani suaminya, tapi dia juga tidak ingin menjadi beban. Karena itu dia hanya bisa menuruti keinginan suaminya.
"Kalau begitu aku pergi sekarang." sahut Stanley sembari mengecup keningnya.
"Stanley," Meisya menahan pergelangan tangan Stanley. "Berhati-hatilah." lanjutnya.
Stanley melumat bibir Meisya untuk yang terakhir kalinya sebelum benar-benar berangkat.
Stanley mengendarai mobilnya seperti orang kesurupan. Dia menyetir hingga mencapai batas kecepatan maksimal mobilnya. Perjalanan yang seharusnya ditempuh selama empat jam, menjadi hanya dua jam saja.
Stanley langsung menuju ke rumah sakit dimana para tubuh korban ditemukan disana. Ada yang tubuhnya sudah tak berbentuk karena terpotong tidak jelas, ada juga yang utuh tapi gosong akibat luka bakar.
Jumlah korban yang mati ada delapan orang yang merupakan pelayan di mansion tersebut. Disana ada Mertun Tettero yang sudah menunggu kedatangannya.
"Dimana Kinsey?" Stanley langsung bertanya tanpa bisa menjaga kesabarannya.
"Ikut aku." ucap Mertun sedih.
Keduanya berjalan menuju ke salah satu kamar khusus mayat dan Stanley melihat ada 'tubuh' manusia yang ditutupi kain putih.
"Aku sudah mengindetifikasi tujuh mayat lainnya, mereka semua adalah pelayanku. Untuk yang ini.. aku tidak tahu apakah dia Kinsey atau bukan. Golongan darahnya memang sama dengan Kinsey, tapi.. aku ingin kau yang memastikannya."
"Maksudmu ada kemungkinan dia bukan Kinsey?"
"Kau akan tahu nanti."
Salah seorang penjaga kamar menuntun mereka mendekat sebelum membuka kain putih yang menutupi 'Kinsey'.
Stanley memasang ekspresi datar ketika melihat tubuh hitam akibat terbakar selama berjam-jam disana. Wajahnya sudah tidak dikenali dan ada beberapa jari terpotong. Sebelah tangannya terpotong hingga mencapai siku dan bau tidak sedap menyeruak menusuk hidungnya.
Stanley menyelidiki postur tubuh mayat tersebut dan keningnya mengernyit menyadari sesuatu.
Saat mulutnya hendak membuka suara dia melihat Mertun sedang memandangnya dengan tatapan peringatan. Jadi Stanley menelan kembali apa yang ingin dilontarkannya.
"Dia adalah Kinsey." ujar Stanley kemudian mengkonfirmasi identitas mayat tersebut. "Tubuh ini memang adalah Kinsey Alvianc."