Berubah Sikap
Berubah Sikap
Buntu. Kosong. Tidak ada satupun yang bisa membuatnya kembali bersemangat untuk hidup. Jika seandainya, dia menyerah.. jika seandainya dia tidak melawan, apakah rasa sakitnya akan berkurang?
Karena itulah, Katie memutuskan menyerah melawan takdirnya. Dia memejamkan matanya bersiap menerima kematian yang akan menjemputnya. Hanya satu yang ia harapkan. Dia berharap dia bisa mati dengan cepat dan tidak perlu tersiksa dengan rasa sakit yang berlebihan.
Dug!
Katie merasakan ada sesuatu yang menyenggol pipinya. Tapi tidak ada rasa sakit. Selain sakit pada tangan serta kakinya yang masih ada benda tajam yang menancap, dia tidak merasakan sakit di wajahnya.
Secara perlahan Katie membuka matanya dan sangat terpana akan apa yang sedang terjadi.
Seekor singa menyundulkan kepalanya ke pipinya, seekor leopard duduk santai disebelah kakinya, dan ada seekor macan yang menatap pisau yang menancap persis dibawah lutut kaki kirinya. Anehnya tatapan itu merasa simpati terhadapnya dan berharap bisa melepaskan pisau tersebut dari kakinya.
Apa yang terjadi? Bukankah mereka semua menghampirinya untuk menyerangnya? Kenapa kini mereka duduk mengelilinginya seolah Katie adalah pimpinan mereka?
"Kenapa mereka tidak menyerangmu?"
Katie segera mendongakkan wajahnya kearah sumber suara itu. Orang yang ingin membunuhnya juga tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Orang itu tampak sama bingungnya dengan Katie. Bahkan jauh lebih bingung dibandingkan dirinya seolah dia yakin sekali Katie pasti mati diterkam oleh para binatang buas ini.
"Uaaaumm.." salah seekor singa mengaum seakan sedang memberitahu sesuatu.
"Bau? Kau mencium bau orang itu darinya? Itu tidak mungkin!"
Ucapan orang tersebut disusul dengan suara binatang yang duduk didekat Katie. Entah kenapa para binatang bersuara seakan membantah ucapan pria itu. Katie tidak percaya ini. Para binatang membelanya dihadapan pemuda itu!?
Lagipula, bau apa yang dimaksud? Apakah Katie bau? Ah, untuk apa dia memikirkan ini? Dia hampir saja mati dibunuh!
"Baiklah, aku akan memastikannya!" seru orang tersebut untuk membungkam protes para binatang.
"Kau, gadis kecil. Wanita pelacur itu..." pemuda tersebut berdehem melihat Katie mengernyit tidak suka ibunya dihina seperti itu. "Keisha.. nama apa yang diberikannya padamu?"
"..." Untuk apa orang ini ingin tahu nama pemberian ibunya?
"Sebaiknya kau segera menjawabnya kalau kau masih ingin hidup. Aku tidak yakin kau bisa bertahan melihat sudah banyak darah yang keluar dari tubuhmu."
Katie baru menyadari kepalanya memang mulai terasa pusing dan tubuhnya terasa berat dan lemas.
"Beritahu aku siapa namamu." tuntut orang itu. Hanya saja kali ini nada suara pria itu terdengar lebih lembut.
"Katalina... ibuku memberiku nama Katalina."
Seketika jantung Katie kembali berdebar dan dia memasang pertahanannya lagi begitu melihat pria itu berjalan dengan langkah cepat kearahnya.
"Apa yang kau inginkan?! Aku sudah memberitahumu namaku."
"Diam! Kita harus menyembuhkan lukamu terlebih dulu."
Katie terdiam mendengarnya. Orang ini aneh sekali. Tadi dia sangat ingin membunuh Katie, sekarang ingin menyembuhkan lukanya?
Katie tercengang dan tidak sempat memberontak ketika tubuhnya melayang ditengah udara begitu saja. Pria itu menggendongnya dan dengan langkah cepat mereka tiba di sebuah danau.
Air di danau sangat jernih seperti kristal yang murni. Disekitar danau tumbuh berbagai macam bunga indah dengan warna yang cantik. Tempat ini sangat indah bahkan tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Seketika Katie melupakan rasa sakitnya dan terpesona akan keindahan dihadapannya.
Kenapa mereka datang ke tempat ini? Katie tidak bisa tidak bertanya-tanya maksud pemuda yang tadinya ingin membunuhnya.
"Kau sudah bisa menggunakan elemen air?"
Ah, sekarang dia mengerti. Pemuda itu membawanya kemari agar dia bisa menggunakan air untuk menyembuhkan lukanya.
Seorang raja merah bisa memanfaatkan elemen air yang murni untuk menyembuhkan sebuah luka. Karena itulah, tiap kali Katie terluka, dia pasti akan pergi ke sungai untuk menyembuhkan lukanya sendiri.
Tapi luka kali ini bukan luka biasa. Dia tidak pernah menyembuhkan luka yang parah seperti ini.
"Aku akan mencabut pisaunya dalam hitungan ketiga. Setelah itu gunakan kekuatanmu untuk menutup lukanya."
Katie menganggukkan kepalanya mengiyakan begitu dia didudukkan di tepi danau.
"Kau siap?"
Katie memasukkan tangannya ke dalam air danau dan berkosentrasi.
"Satu.. dua.. tiga.."
"AAAAAAAA!!!" teriak Katie membuat konsentrasinya pecah. Dia sama sekali tidak menyangka rasa sakitnya akan berkali lipat ganda begitu pisau tercabut dari kakinya.
"Fokus!" lanjut pria itu sambil menekan lukanya agar darah tidak keluar lebih banyak dari sebelumnya.
Dengan napas yang tak beraturan Katie berusaha sekuat tenaga untuk konsentrasi. Sakit, perih, jantungnya berdebar dengan kencang membuatnya sesak napas. Sungguh sangat sulit untuk berkosentrasi.
"Pikirkan orang yang kau sayangi. Jika kau masih ingin bertemu dengan mereka, konsentrasi saat ini juga!" perintah orang itu karena melihat pancaran mata Katie sudah mulai tidak fokus. Bibirnya mulai putih karena pucat. Dia akan jatuh pingsan sebentar lagi.
Katie berhasil menciptakan gelembung-gelembung kecil di tengah udara. Lalu mengarahkannya persis ke luka di bawah lututnya.
Dahinya mulai berkeringat tanpa bisa dihentikan. Pandangannya mulai kabur dan kepalanya terasa berat.
Tepat disaat lukanya menutup kembali dengan sempurna, pandangan Katie seketika menggelap. Kepalanya langsung tersungkur dan akan membentur bebatuan kalau tidak segera ditahan oleh telapak tangan pemuda itu.
Orang itu menatap Katie dengan pandangan rumit.
"Katalina, huh? Keisha, kau licik sekali. Menggunakan nama ibuku hanya agar aku tidak membunuh putrimu."
-
Katie terbangun dari tidurnya enam jam setelah dia pingsan. Dia bahkan terbangun dengan suasana yang sama sekali berbeda. Dia sedang berbaring di atas ranjang, serta selimut hangat menyelimutinya.
Dimana ini?
Katie bangkit dari tidurnya dan menyelidiki sekelilingnya. Bukankah ini salah satu kamar dari rumah yang dimasukinya tadi?
Katie menyingkirkan selimutnya dari tubuhnya untuk melihat kondisi kakinya. Mulus. Tidak ada luka apapun disana membuat dia merasa lega. Setidaknya dia sempat menyembuhkan lukanya sebelum dia jatuh pingsan.
Katie bertanya-tanya dengan perubahan sikap pemuda yang tadinya ingin membunuhnya. Sebenarnya siapa pemuda itu? Apa hubungan pemuda itu dengan ibunya? Kenapa orang itu tidak jadi membunuhnya begitu mendengar namanya?
Kalau tahu begini, dia bisa menyebut namanya sedari awal tanpa perlu merasakan sakit yang mengerikan.
Meskipun dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri, tetap saja dia masih bisa merasa sakit. Jika sakitnya terlalu besar membuatnya tidak bisa berkosentrasi, dia bisa saja mati kehabisan darah.
Katie menghela napas sebelum memutuskan beranjak dari ranjangnya. Dia berjalan keluar menuju ke ruang utama.
Sekali lagi dia merasakan perasaan aneh yang sama. Dia merasa ada sepasang mata sedang mengawasinya.
"Gadis kecil, kau sudah siuman."
Katie menoleh ke arah pemilik suara yang menyapanya. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman dipanggil 'gadis kecil' oleh pria itu. Jelas sekali pria itu masih berusia sekitar dua puluh tahunan, tapi sikapnya sama sekali tidak sopan.
Jika anak muda ini tahu Katie adalah raja merah, maka seharusnya pemuda itu tahu bahwa usianya jauh diatasnya.
Katie hendak berbicara disaat dia merasakan bulu kuduknya merinding. Katie berbalik lagi mencari sepasang mata yang mengawasinya. Di ujung koridor kah? Atau di balik lemari tua? Tapi tidak ada siapa-siapa disana.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya pemuda itu.
"Aku merasa ada yang mengawasiku."
Pemuda itu mengernyit bingung karena yakin tidak ada manusia lagi selain mereka berdua. Tempat ini tidak bisa didatangi sembarang manusia. Hanya raja merah yang bisa menemukan tempat ini. Atau orang yang memang sengaja dibawa oleh raja merah untuk datang ketempat ini.
Kemudian matanya menangkap sesuatu diatas lemari kuno. Saat itu pula dia mengerti.
"Ah, sepertinya dia yang mengawasimu."
Katie menoleh kembali dan melihat apa yang sedang dilihat pemuda itu. Katie mendongak ke atas dan matanya melebar melihat sepasang mata hitam memandanginya dengan tatapan menyelidik.
Bentuk kepalanya mengembang seperti sebuah sendok. Belum lagi lidah yang sering menjulur keluar membuat Katie terpaku pada tempatnya.
Ular! Seekor ular sedang mengawasinya!? Dan lagi, ular jenis kobra? Yang memiliki racun mematikan di dunia ini? Dari tadi ular itu ada diatas sana dan menyaksikannya berlalu lalang di tempat ini?
"Dia mengira kau tamu tak diundang. Dia hendak menyerangmu saat kau masuk tanpa izin. Lalu dia mencium sesuatu darimu, sehingga tidak jadi membunuhmu dengan racunnya."
Katie menelan ludah mendengar penjelasannya. Lagi-lagi pria itu membahas soal bau. Bau apa yang sebenarnya dimaksudkan pria itu?
"Bau apa yang sedang kau bicarakan? Apakah badanku bau?"
Pemuda itu tertawa mendengarnya. Tawanya sama sekali tidak membuat Katie merasa senang.
"Kau berhutang penjelasan padaku. Kenapa kau ingin membunuhku? Jika kau ingin membunuhku, kenapa kau menyelamatkanku? Aku sama sekali tidak mengerti. Dan lagi, darimana kau bisa mengenali ibuku? Adik? Aku yakin aku adalah anak tunggal, adik siapa yang kau maksudkan?"
"Tentu saja kau tidak tahu kalau punya adik. Begitu kalian lahir, kau langsung dibawa pergi ke luar Prussia."
'Kalian lahir'? Apakah itu berarti...?
"Kem.. Kami kembar?"
"Benar. Kalian anak kembar."
"Lalu dimana dia sekarang? Siapa namanya?" tanya Katie dengan nada menuntut.
"Aku saja tidak tahu namamu, bagaimana aku bisa tahu nama adikmu?"
"..." Katie tidak bisa membantahnya. "Baiklah. Kalau begitu, kau siapa? Darimana kau tahu latar belakangku? Apa yang sudah dilakukan ibuku sehingga kau membencinya? Asal kau tahu, meskipun ibuku melakukan kesalahan, kau tidak boleh membunuh anaknya yang tidak berdosa. Apalagi kau bermaksud membunuh dua anak. Aku yakin pasti ada kesalapahaman diantara kalian, jadi seharusnya kalian bicarakan baik-baik. Dan lagi... bagaimana mungkin kau bisa mengenali ibuku, kau bahkan tampak seperti anak yang masih kuliah."
Pemuda itu mendelik tidak menduga kalimat terakhir Katie. Bukannya tersinggung, dia malah tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Jika kau ingin tahu jawabannya, maka kau harus melewati pelatihan dariku terlebih dulu."
Ha???