Percakapan Di Balkon
Percakapan Di Balkon
Seharusnya tadi dia memakai jaket terlebih dahulu atau berganti pakaian yang lebih tertutup. Tapi dia sudah terlalu malas naik ke lantai kamarnya dan lebih memilih berada disini sebentar. Kalau nanti dia sudah tidak tahan dingin lagi, baru dia akan kembali ke kamarnya sekaligus untuk tidur.
Katie menengadahkan wajahnya ke langit. Apa yang dikatakan Vincent memang benar. Malam ini langit dipenuhi dengan bintang-bintang. Katie menyesap wine di gelasnya hingga habis.
Sudah tidak ada lagi minuman, apa sebaiknya dia kembali ke kamar? Tapi dia masih belum mengantuk. Bukan. Bukannya karena tidak mengantuk.
Akhir-akhir ini dia merasa takut untuk tidur. Dia takut saat bangun nanti dia berada di tempat yang tak dikenalnya. Dia takut saat dia terbangun nanti, wajah Aiden yang muncul. Dia takut... saat dia terlelap, mimpi buruknya akan mendatanginya.
Karena itulah, malam-malamnya tidak pernah dihiasi dengan ketenangan. Untungnya, umbranya dengan setia menemaninya di kala dia tidak bisa tidur. Umbranya akan bercerita mengenai negeri asalnya dan suku Oostven hingga dia jatuh terlelap. Dia seperti anak kecil yang tidak akan bisa tidur jika tidak ada yang menceritakannya sebuah dongeng.
Katie mengambil napas panjang sembari menatap gelas winenya yang kosong. Akhirnya dia memutuskan kembali dan membalikkan badannya.
Tepat saat dia berbalik, matanya menangkap sesuatu. Seorang pria berbaring di kursi panjang dengan sebelah tangan menutupi matanya. Posisinya agak jauh dari pintu tempat dia lewati tadi jadi dia sama sekali tidak sadar ada orang disana.
Siapa orang itu? Dan lagi, orang itu tidak memakai jas atau jaket untuk menyelimuti tubuhnya. Hanya kemeja biru langit berlengan panjang. Katie melihat tuxedo orang itu bertengger di senderan kursi. Jika orang itu dibiarkan terus, dia pasti akan jatuh sakit.
Katie memutuskan menghampiri orang tersebut dan membangunkannya dengan perlahan.
"Hei, hei." panggilnya sambil menggoyangkan pundak pria itu.
Katie terkesiap saat tangan pria itu yang tadinya berada di atas wajahnya kini menggenggam tangannya dengan erat. Dia teringat saat Aiden atau anak buahnya mencengkeram tangannya untuk mengambil keuntungan darinya. Jantung Katie berdesir ketakutan dan langsung menyesal telah membangunkan pria itu. Seharusnya dia membiarkannya saja dan segera pergi dari sini.
Katie hendak menghentakkan tangannya bersiap untuk melarikan diri saat sepasang mata terbuka dan memandangnya dengan bingung. Untuk kedua kalinya, Katie terpaku pada tempatnya.
Sepasang mata coklat gelap yang tajam seolah menghipnotisnya untuk tidak bergerak.
Pria ini... orang ini adalah Kinsey Alvianc.
Kinsey segera melepaskan genggamannya begitu menyadari Katie yang membangunkannya. Tadinya dia pikir ada orang yang bermaksud jahat dan berniat membunuhnya. Karena itu Kinsey mencengkeram tangan gadis itu secara refleks.
Selama belasan tahun dia sudah terlatih dan menjalani misi berbahaya hingga membunuh banyak orang jahat yang juga hendak membunuhnya. Refleksnya sudah terbentuk meski disaat dia tertidur. Dia akan segera bangun jika ada suara kecil atau ada yang menyentuhnya. Karenanya, secara reflek dia mencengkeram tangan yang menyentuh pundaknya.
Kini Kinsey menyesalinya ketika melihat bekas merah yang melingkar sempurna di pergelangan Katie. Wajah Kinsey berubah menjadi masam dan perasaan bersalah menyelimutinya.
"Sejak kapan kau ada disini?" Kinsey tidak bermaksud mengucapkannya dengan dingin, tapi tetap terdengar dingin dan tak bersahabat di telinga Katie.
"Maaf, aku tidak tahu kau ada disini. Tadinya kupikir kau akan masuk angin kalau tetap tidur disini, jadi aku berusaha membangunkanmu." jelas Katie sambil menundukkan kepalanya takut menatap lurus mata Kinsey.
Melihat ketakutan dan niat baik Katie terhadapnya membuat ekspresi Kinsey melembut. Dia harus memperbaiki peringai buruknya tiap kali bangun tidur. Pikir Kinsey dalam benaknya.
"Aku tidak akan mengganggmu lagi." ucap Katie sembari menegakkan tubuhnya kembali dan berbalik masuk ke dalam.
"Mau minum denganku?"
Langkah Katie terhenti mendengar tawaran pria dibelakangnya. Dia berbalik memandang Kinsey dengan bingung.
"Tempat ini adalah tempat umum. Kau tidak harus pergi hanya karena aku disini. Bagaimana kalau menemaniku minum?" Kinsey menunjuk ke arah botol wine di atas meja sebelahnya dengan dagunya. "Lagipula kau juga sudah membawa gelas kosong milikmu."
Katie melirik ke arah gelas yang dari tadi dibawanya kemudian melirik ke arah botol wine sebelum melarikan pandangannya kembali ke arah Kinsey.
Yang sebenarnya... dia tidak ingin berdua dengan seorang pria. Apalagi dengan pria yang baru ditemuinya hari itu. Dia masih belum pulih dari rasa traumanya sejak kejadian itu.
Dia takut, rasa kegelisahannya malah akan membawa cuaca buruk di tempat ini. Lebih baik dia menolak tawarannya dan segera kembali ke kamarnya.
Tapi.. disaat bersamaan hatinya berkata sebaliknya. Entah kenapa hatinya berusaha mendesaknya untuk tinggal. Kenapa? Kenapa hatinya bertentangan dengan otaknya?
Katie menelan ludah dengan gugup dan berjalan mendekati pria itu. Sungguh mengherankan. Sinar mata pria itu sanggup menghipnotisnya seakan dia tidak bisa menolak tawaran pria itu untuk minum bersamanya.
Kinsey memang memasang wajah yang datar tanpa ekspresi apapun, tapi dia bisa melihat ada yang tidak beres dengan sikap Katie. Sepanjang ingatannya Katie adalah anak yang ceria, terbuka dan mudah bergaul dengan orang asing. Tapi kenapa sekarang gadis itu tampak ragu dan seperti sedang ketakutan?
Yah, mungkin karena sudah belasan tahun terlampaui, karakter orang bisa berubah. Karena itu Kinsey tidak terlalu memperdulikannya.
Dia berdiri untuk menuangkan wine ke gelas Katie secukupnya kemudian kembali duduk di kursinya.
Dia semakin bingung ketika melihat Katie hanya berdiri terpaku di tempatnya tanpa bergerak.
"Duduklah, kau akan capek jika berdiri terus."
Katie menatap kursi panjang yang tadi dibuat tidur oleh Kinsey. Meski kursi itu sangat panjang, tapi tetap saja.. dia akan duduk bersebelahan dengan pria itu. Belum lagi, saat ini Kinsey duduk di bagian agak tengah. Jika dia duduk disana, Katie takut traumanya akan muncul kembali dan kekuatannya akan aktif menyebabkan cuaca menjadi buruk.
"Aku lebih suka berdiri. Aku harap kau tidak keberatan." jawab Katie akhirnya dan berjalan menjauhi Kinsey dan menyenderkan punggungnya di sebuah pilar.
Kinsey memandang ke arah Katie dengan curiga. Tidak salah lagi. Sikap Katie bukan hanya seperti orang yang sedang ketakutan, tapi juga merasa gelisah. Otaknya yang pintar mulai bekerja. Antara gadis itu memang tidak merasa nyaman dengan seorang pria atau... terjadi sesuatu yang membuat gadis itu trauma terhadap pria?
Apakah mungkin Aiden? Lagipula... satu-satunya pria iblis yang menaruh banyak luka di kulit bersih Katie hanyalah orang itu. Ada kemungkinan gadis ini menjadi trauma atas apa yang dialaminya dan tidak ingin berdekatan dengan seorang pria.
Kinsey mencengkeram gelas winenya dengan keras memikirkan kemungkinan ini. Untung saja Aiden sudah tidak ada di dunia ini, kalau tidak dia akan ingin menghajarnya dan membunuhnya dengan tangannya sendiri.
Sadar dia nyaris memecahkan gelasnya, dia segera meletakkan gelasnya di meja. Dia tidak ingin membuat gadis yang kini menjaga jarak dengannya merasa takut dan berusaha melarikan diri.
Malam ini saja, untuk malam ini.. Kinsey ingin merasa dekat dengan gadis itu.. cinta pertamanya.
Selama beberapa menit berjalan, tidak ada satupun dari mereka yang berbicara. Hanya suara musik yang terdengar dari kejauhan serta suara gesekan dedaunan yang sesekali terdengar saat angin berhembus dengan kencang.
Katie yang tadinya merasa canggung kini bisa bernapas lega. Dia tidak tahu apakah pria itu sengaja atau tidak, tapi Kinsey tidak memberikan suasana mengancam ataupun gerakan yang berlebih seolah pria itu berusaha meyakinkannya dia tidak akan melukainya.
Jika memang pria itu menyadari kegelisahannya dan sengaja melakukannya, jantung Katie akan melonjak karena rasa senang.
Senang? Kenapa dia harus merasa senang?
Katie menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk membuang pikirannya jauh-jauh. Dia tidak mungkin merasa senang hanya karena seorang pria asing.
"Bagaimana keadaanmu?" untuk pertama kalinya semenjak kesunyian dimulai, Kinsey membuka suaranya.
"Keadaanku?"
"Maksudku semenjak kejadian itu. Apakah perasaanmu sudah membaik?"
Katie menundukkan wajahnya menatap gelas winenya yang sama sekali belum diminumnya. Apakah dia sudah membaik? Jika dibilang membaik, dia memang sudah merasa baikan. Lebih tepatnya.. dia berusaha mengontrol emosinya agar kekuatannya tidak aktif.
Jika seandainya dia bukan raja merah, saat ini mungkin dia sudah menjadi gila dan berteriak histeris tiap harinya.
"Lumayan." jawabnya kemudian.
"Benarkah? Kalau begitu kau adalah gadis yang kuat."
Katie mendengus dengan sarkas mendengarnya. Gadis yang kuat? Dia sama sekali tidak kuat.
"Kau salah. Aku sama sekali tidak kuat. Terkadang, mereka menghantuiku tiap malam. Aku tidak bisa tidur nyenyak karena mimpi buruk itu. Aku sama sekali bukan orang yang kuat." terdengar nada sedih pada suaranya.
"Aku sudah menduganya."
Katie mendongak wajahnya dan melihat Kinsey tersenyum lembut ke arahnya membuat jantungnya bergetar kembali.
"Tidak ada gadis yang tidak merasa trauma setelah mengalamai apa yang kau alami." lanjut Kinsey. "Tapi, dimataku kau adalah wanita yang kuat. Kau sanggup melampaui itu semua dan bisa tersenyum, tertawa bahkan menyediakan kejutan khusus untuk adikku. Selama kau memiliki perasaan untuk membahagiakan orang yang kau sayangi, kau akan baik-baik saja."
Katie terpana mendengar penjelasan pria itu. Seakan kalimat pria muda ini menyentuh hatinya yang paling dalam dan memberinya kekuatan untuk melanjutkan kehidupannya.
Untuk pertama kalinya sejak dia tiba di balkon ini, Katie merilekskan saraf tubuhnya dan menikmati pemandangan malam disana. Entah kenapa dia merasa yakin pria ini tidak akan berbuat sesuatu yang menyakitinya dan dia merasa nyaman ditemani pria itu.
Kemudian keduanya mulai berbincang santai sambil tertawa dan tanpa terasa mereka sudah mengobrol hampir satu jam.
"Dari tadi siang aku merasa penasaran." ungkap Katie. "Kenapa kau memanggil Cathy dengan Rinrin, padahal semuanya kan memanggilnya Cathy?"
"Tidak ada alasan penting. Kedua orangtuaku memanggilnya dengan Rinrin. Sepertinya hanya mereka yang memanggilnya Rinrin."
Memang itulah alasan yang diberikan tiap kali ada yang bertanya kenapa dia memanggil adiknya dengan nama 'Rinrin'. Tapi alasan yang sebenarnya adalah.. dia hanya tidak ingin memanggil adiknya yang terdengar seperti nama cinta pertamanya.
Membutuhkan usaha yang sangat besar untuk tidak terlalu memikirkan cinta pertamanya. Jika dia sampai memanggil adiknya yang terdengar seperti nama Katie, maka akan sangat sulit baginya untuk melupakan gadis itu. Nyatanya... dia tetap tidak bisa menyingkirkan nama Katleen Morse di benaknya tidak peduli seberapa keras dia melupakannya.
"Sepertinya aku dan Cathy memang benar-benar mirip." ujar Katie dengan tawa kecil. "Sewaktu aku kecil dulu, hanya kedua orangtuaku yang memanggilku Katie, sementara temanku dan lainnya memanggilku Kei."
Kinsey menghela napas. Tentu saja dia masih mengingatnya ketika teman-temannya dulu memanggil gadis itu dengan nama Kei. Tapi dia juga yakin tidak hanya kedua orangtua gadis itu yang memanggilnya dengan Katie, dia juga memanggilnya dengan nama Katie!
Sepertinya gadis itu telah benar-benar melupakannya. Lagi-lagi tanpa disadarinya Kinsey berubah menjadi masam dan suasana hatinya kembali mendung.