My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu

Kesedihan



Kesedihan

2Katie yang dirawat dan masih dalam proses pemulihan setelah menjalani operasi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Beberapa mimpi buruk mendatanginya dan dia sama sekali tidak bisa kabur atau terbangun.     

Seperti saat ada tangan-tangan yang merayap ke tubuhnya, menyentuh tubuhnya yang selama ini tidak pernah disentuh lelaki. Dia merasa jijik, mual dan ingin muntah. Tapi dia tidak bisa melakukannya karena dia terjebak dalam mimpinya.     

Katie terisak, meronta dalam tidurnya. Denyut nadinya berdetak dengan sangat cepat dan suhu tubuhnya meningkat dan menjadi panas. Dokter yang menjaga kondisi Katie segera memberikan obat penenang. Dan dia juga menyalakan aroma terapi yang bisa menenangkan jiwa Katie.     

Barulah denyut nadi Katie kembali normal dan mulai bisa bernapas dengan lega. Namun suhu tubuhnya tidak turun juga. Badannya sangat panas hingga mencapai empat puluh derajat.     

Jika mereka tidak segera mendapatkan obat penawarnya, Katie tidak akan bertahan hingga besok pagi.     

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan kasar dan seorang pria masuk dengan badan penuh luka dan keringat.     

Dia segera menyerahkan sebuah botol berisi cairan ke dokter.     

"Obat penawarnya."     

Tanpa menunggu lagi, dokter mengambil botol tersebut dan membawanya ke ruang labnya. Setelah memastikan bahwa cairan itu memang adalah obat penawar barulah dia menyuntikkannya kedalam selang infus yang terhubung dengan tangan Katie.     

"Bagaimana keadaannya?" tanya pria itu.     

"Kita akan mengetahuinya setelah beberapa jam kemudian." jawab sang dokter. "Ketua Kinsey, kau harus segera merawat lukamu. Cepat keluar dan temui dokter Edgar."     

Kinsey merasa enggan untuk keluar dari tempat ini. Hatinya merasa sakit melihat tubuh Katie yang kini dibalut dengan perban. Anehnya, gadis itu masih terlihat cantik dan bersinar.     

"Ketua! Kau tidak berguna disini. Dia membutuhkan waktu dan ketenangan untuk pulih." bisik sang dokter dengan tajam.     

Pada akhirnya Kinsey menurut dan mencari Edgar untuk mengobati luka-lukanya. Kinsey mendesah pasrah saat Edgar, dokter yang bekerja di timnya terlihat begitu senang dengan kehadirannya.     

Selagi diperiksa oleh Edgar, adiknya masuk ke dalam dengan mata berkaca-kaca.     

"Kakak.."     

Kinsey melihat adiknya sudah menangis dengan tersedu-sedu.     

"Kenapa kau bisa terluka seperti ini? Sudah kubilang, kan. Mencari iblis kejam itu sama saja dengan bunuh diri."     

Kinsey mengangkat sebelah tangannya yang bebas untuk mengusap kepala Cathy dengan lembut. "Tapi aku tidak mati kan? Aku baik-baik saja. Jadi berhentilah menangis." ucapnya sembari menghapus air mata adiknya. "Kau terlihat jelek saat menangis."     

Cathy mendengus kesal. Bisa-bisanya kakaknya meledeknya disaat seperti ini.     

"Bukankah kau sangat senang melihat Vincent tidak terluka sama sekali?"     

"Aku memang senang, tapi aku akan lebih senang lagi kalau kau juga kembali tanpa luka."     

Kinsey tersenyum mendengarnya. Kemudian dia baru menyadari ada perban yang membalut leher adiknya.     

"Apa yang terjadi dengan lehermu?" Kening Kinsey mengernyit kembali merasa marah pada orang yang sudah menyakiti adiknya.     

Cathy menyentuh lehernya dan sedang menjelaskan apa yang terjadi saat suaminya datang memotongnya.     

"Kakak macam apa yang baru menanyakan kondisi adiknya?" Vincent masuk kedalam ruangan menghampiri Cathy untuk memeluk pinggang istri tercintanya. Tidak lupa dia memberi kecupan di puncak kepala istrinya.     

Kinsey hanya memutar matanya dengan malas. Dia merasa tidak sabar saat Edgar dengan sengaja berlamban-lamban mengobati lukanya.     

"Kau ini minta dihajar atau dipecat? Kenapa gerakanmu lamban sekali, huh?"     

Cathy mendelik tak percaya mendengar ucapan kasar kakaknya. Sementara Vincent segera menutup telinga istrinya rapat-rapat.     

"Dasar kakak yang tidak benar. Tidak bisa memberi contoh yang baik pada adiknya."     

Kinsey melirik sinis kearah Vincent sementara Cathy menghela napas. Padahal mereka belum memberitahu Kinsey mengenai pernikahan mereka. Tapi suaminya yang jahil ini malah menggoda kakaknya.     

"Sekali lagi kau memanggilku kakak, aku tidak akan merestui hubungan kalian."     

Kemudian Kinsey beranjak dari kursi dan keluar setelah mengambil kemejanya. Dia tidak peduli dokter Edgar yang memanggilnya karena perawatannya masih belum selesai.     

Vincent hanya tersenyum geli melihat temperamen saudara iparnya.     

"Vincent, hentikan."     

"Baiklah." jawab Vincent sambil memperat pelukannya diperut istrinya.     

Cathy merona malu karena tindakan suaminya yang menunjukkan cintanya didepan orang asing. Karena usahanya untuk melepas diri tidak berhasil, Cathy membiarkannya.     

"Dokter, bolehkah aku bertanya sesuatu?"     

"Tentu saja."     

Vincent serta Cathy terpaku mendengar suara dokter satu ini. Suaranya seperti sedang dibuat-buat dan terdengar feminim. Belum lagi kedipan mata dan bibir yang menyunggingkan senyuman lebar secara berlebihan.     

Bahkan Vincent yang terkenal tidak takut pada apapun, bergidik geli melihat cara dokter ini berbicara.     

"Uhm.. kenapa sepertinya anda sengaja berlambat-lambat mengobati kakak saya?" Cathy sudah curiga maksud gerakan lamban yang disengaja dokter ini, tapi mulutnya tidak bisa diam dan malah minta konfirmasi.     

"Oh, itu... Otot-ototnya sangat menggiurkan. Jadi gemes deh. Aku ingin meremas ototnya dan juga... dadanya sangat..."     

Tidak sanggup mendengar lagi, Vincent segera mengajak istrinya keluar meninggalkan dokter gay ini berceloteh sendiri dengan mata terpejam.     

-     

Setelah diberi obat penawar kemarin malam, akhirnya Katie bangun keesokan paginya. Kenangan saat dia diserang banyak orang dan hampir diperkosa membuatnya takut. Bagaimana kalau saat ini dia masih berada di sarang musuh? Bagaimana kalau ada orang-orang yang sedang menunggunya bangun untuk menyerangnya?     

Dia benar-benar merasa takut dan segera menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Lagi-lagi dia berada di tempat yang berbeda. Dimana ini? Apa yang akan terjadi padanya? Atau apakah mungkin dia sudah mati?     

Dia mencoba membuka suaranya yang ternyata agak sedikit parau kemudian dia mendengar sebuah tangisan. Dan tiba-tiba saja lehernya dipeluk dengan erat membuatnya kesulitan untuk bernapas.     

"Kitty, syukurlah, akhirnya kau bangun juga."     

Katie sangat mengenal suara ini. Dia merasakan lega yang luar biasa mengetahui sahabatnya baik-baik saja.     

"Cathy.. Aku tidak bisa bernapas." Katie menepuk bahu sahabatnya.     

"Kau baik-baik saja? Apakah kepalamu pusing? Aku pikir aku benar-benar kehilanganmu."     

"Aku baik-baik saja. Bukankah sekarang aku baik-baik saja?" Yang sebenarnya Katie merasa tidak baik-baik saja. Dia merasakan pedih dan sakit baik pada tubuhnya maupun hatinya. Dia ingin menangis sendirian tapi dia menahannya. Dia tidak ingin membuat sahabatnya khawatir dan bersikap seceria mungkin.     

Mereka berdua saling mengungkapkan kelegaan mereka dan berpelukan dengan terharu. Keduanya sama-sama tidak menyangka bisa selamat dari semua kejahatan yang dilakukan Aiden.     

Mereka bisa saja menghabiskan waktu seharian berduaan kalau saja tidak ada yang menengahi reuni mereka.     

"Maaf mengganggu waktu kalian. Tapi, saya ingin bicara dengan nona Katleen kalau nona kedua tidak keberatan." seorang pria bertopeng hitam muncul membuat Katie kembali memucat.     

Kenangan akan sekelompok pria asing menyentuh tubuhnya kembali muncul di benaknya. Dia meremas selimutnya dengan kencang berharap Cathy tidak meninggalkannya.     

Namun harapannya sirna ketika Cathy mengizinkan pria bertopeng itu berbicara empat mata dengannya.     

"Dia adalah orang kepercayaanku. Dia tidak akan melukaimu." bisik Cathy sembari memberi tepukan lembut di tangannya yang sudah meremas selimutnya dengan kencang.     

Mungkin karena Cathy yang mengucapkannya, ketakutan Katie mulai berkurang. Dan dia mencoba kembali merilekskan badannya sambil berusaha menghilangkan kenangan buruk itu.     

"Nona Katleen, saya sudah bertemu dengan umbra anda. Kebetulan kami bertemu di tempat anda jatuh pingsan saat saya sedang menyelamatkan nona kedua kami."     

Nona kedua? Maksudnya siapa? Dia bertanya-tanya siapa yang dimaksud. Tapi dia lebih penasaran dengan hal lain.     

"Umbra membiarkanmu hidup? Sepengetahuanku umbra tidak pernah membiarkan siapapun yang melihat wajahnya hidup."     

"Kami membuat kesepakatan. Saya mengatakan padanya saya bisa menyelamatkan anda asalkan dia tidak membunuh saya. Dan juga... saya tahu anda adalah 'Raja Merah'." tubuh Katie menegang mendengar pernyataan ini. "Saya pernah mendengarnya dari Zero sebelumnya. Tapi anda tidak perlu khawatir. Rahasia anda akan kami jaga."     

"Tapi bagaimana dengan Cathy? Dia juga sudah tahu kalau..." kalimat Katie terpotong saat dia merasakan kehadiran penyusup diluar jendelanya.     

Dengan jendela yang terbuka lebar seekor burung makau merah masuk terbang mengitari Katie sebelum mendarat di pundaknya.     

"Soal nona kedua.. anda juga tidak perlu khawatir. Dia tidak akan memberitahu siapapun mengenai hal ini."     

Katie meremas selimutnya dengan kencang. Alasan kenapa dia menghentikan kalimatnya agar umbranya tidak tahu kalau Cathy sudah tahu identitasnya. Tapi orang ini malah mengatakannya begitu saja membuat umbranya tahu bahwa ada orang lain yang mengetahui identitasnya. Dan orang itu adalah sahabat terbaiknya.     

Jika sampai umbra membunuh Cathy, jika sampai Cathy celaka gara-gara dirinya... Katie tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.     

"Maaf. Biarkan aku sendiri."     

Zero menganggukkan kepalanya dan keluar meninggalkan Katie tanpa menyadari kehadiran umbra.     

"Berjanjilah padaku kau tidak akan menyakiti Cathy." untuk pertama kalinya Katie mengeluarkan nada perintah.     

Umbra melompati jendela dan berjalan menghampirinya dan langsung memeluknya dengan erat.     

"Aku tidak pernah punya niatan melukai orang yang kau sayangi. Tidak usah khawatir."     

Katie mendesah lega mendengarnya. Belum lagi tubuhnya dipeluk dengan hangat oleh orang yang sangat disayanginya membuat perasaannya membuncah keluar.     

"Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja?"     

Katie menggelengkan kepalanya sambil terisak. Dia mengangkat kedua tangannya menarik baju umbranya untuk menyembunyikan wajahnya.     

"Menangislah. Untuk hari ini saja, menangislah sepuasmu."     

Mendengar itu Katie tidak menahan kesedihannya lagi dan menangis sekeras-kerasnya. Tangisannya disusul dengan hujan deras di luar. Suaranya yang keras tak terdengar karena tertutup oleh suara hujan.     

Umbra memperat pelukannya sambil menepuk punggungnya dengan lembut.     

'Luapkan semua emosimu sekarang, Kei. Setelah ini kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu lagi. Aku tidak ingin usiamu semakin pendek.' ungkap umbra dalam pikirannya.     

Sementara itu penghuni yang menginap di kastil merasa terheran-heran dengan hujan yang turun secara tiba-tiba. Pada akhirnya mereka lebih memilih tidak keluar dari kastil dan beristirahat didalam kamarnya masing-masing.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.