Hari Yang Bahagia
Hari Yang Bahagia
'Bagaimana kalau kita membayangkan jika ini berhasil? Kau bisa mengecat rambutmu sesuai warna yang kau inginkan. Kau juga tidak perlu memakai kontak lensa mata lagi, karena warna matamu pasti tidak akan merah. Dan juga, kau tidak perlu khawatir alam akan bereaksi sesuai dengan suasana hatimu. Belum lagi, kau bisa menyanyi sepuasmu tanpa takut burung akan mendatangimu.'
Katie teringat akan serentetan kalimat umbranya. Menyanyi sepuasnya? Dia bahkan tidak akan bisa menyanyi lagi jika dia mati.
Katie mengusap air mata yang mulai terbentuk di kedua matanya. Kemudian dia bangkit berdiri. Jika dia tidak bisa menyanyi lagi, lebih baik dia menyanyi sekarang.
Katie memejamkan matanya dan mulai menyanyikan sebuah melodi yang muncul di pikirannya. Karena ini akan menjadi nyanyiannya yang terakhir, dia mencurahkan segenap hatinya kedalam nyanyiannya.
Saat itu juga dia merasakan sesuatu yang hangat mengelilinginya. Tanpa menghentikan nyanyiannya, dia membuka matanya secara perlahan.
Tali cahaya yang dilihatnya tadi kini meliuk mengelilinginya seolah ikut menari menemani nyanyiannya. Katie menggenggam tali cahaya tersebut yang kemudian secara perlahan mengecil, menjadi satu berbentuk seperti bola benang diatas telapak tangannya.
Disaat itu pula muncul suatu kilauan kelap-kelip mengeliling bola benang di telapaknya. Apakah mungkin itu adalah penahannya?
Tiba-tiba saja hatinya diliputi suatu kesedihan yang luar biasa dan air matanya menetes begitu saja tanpa disadarinya.
Katie menghentikan nyanyiannya sembari menyentuh pipinya yang basah. Dia yakin dia tidak memiliki alasan untuk bersedih jika dia berhasil melalui penyegelan ini. Lalu kenapa dia merasa sedih dan menangis?
Katie memandang bola benang yang kini sudah tertutup sempurna dengan kilauan cahaya tadi. Kini bola di telapak tangannya hanya seperti bola kaca biasa tanpa cahaya apapun. Saat itulah dia sudah tidak merasa sedih lagi.
Katie memandang bola ditelapak tangannya dengan tatapan menyesal. Apakah mungkin tadi dia merasakan kesedihan yang dirasakan energi kehidupannya? Apakah tadi energi kehidupannya sedang menangis saat penahan muncul untuk 'mengurungnya'?
Katie mengangkat sebelah tangannya yang bebas untuk memegang bola kristal yang cukup besar itu. Kemudian membawanya didepan dadanya seperti sedang memeluknya.
"Maaf." bisik Katie. "Tidurlah untuk saat ini." Pelukannya semakin erat dan bola kristal tersebut mengecil dan menghilang memasuki tubuhnya.
Di waktu bersamaan umbra yang sudah menunggu segera menyelimuti Katie dengan selimut tebal begitu putaran angin disekitar Katie menghilang.
Umbra segera menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Setelah memakaikan jaket tebal dan menumpukkan beberapa selimut lagi menutupi tubuh dingin Katie, umbra segera menjalankan mobilnya turun gunung menuju ke desa.
Begitu tiba di desa, umbra kembali menggendong Katie masuk ke sebuah penginapan. Untungnya dia sudah memindahkan ranjang mendekat ke perapian. Dengan begitu, tubuh Katie bisa menghangat di dekat perapian.
Saat ini tubuh Katie dibaringkan ke atas ranjang khusus dimana dibawahnya diberi penghangat sementara empat selimut tebal menumpuk di atas tubuh Katie. Umbra terus-menerus memberikan kayu untuk dilahap api di perapian membuat suhu kamar menjadi sangat panas seperti terbakar.
Mulut Katie masih membiru pucat dan dua alisnya memutih. Suhu tubuh Katie masih belum menghangat meski dia sudah berada didalam kamar yang sangat panas selama tiga jam.
Umbra segera menghubungi Charlie untuk meminta petunjuk apa yang harus dia lakukan.
"Berapa lama dia berada disana?"
"Hampir dua puluh empat jam. Penyegelannya selesai tepat lima menit sebelum waktu batasannya."
"Tunggu saja. Dia terlalu lama berada di gunung. Biarkan dia berada di ruangan panas hingga besok pagi."
Pada akhirnya umbra hanya bisa menunggu lagi... tanpa bisa melakukan apa-apa.
-
Sudah tiga hari Katleen pergi ke Alaska untuk melakukan ritual penyegelannya. Hingga detik ini masih belum ada kabar apapun dari putri mereka ataupun dari umbra. Hal ini meresahkan pasangan Morse.
"Bagaimana kalau Katie gagal? Seharusnya kita tidak mengizinkan melakukannya." ucap Shanley, ibu asuh Katie.
"Kau tahu kita tidak bisa menentukan nasibnya. Katie sudah memilih jalan hidupnya dan kita hanya bisa mendukungnya." hibur Tom, suaminya.
"Tapi kita tidak boleh mendukungnya jika itu malah membunuhnya."
"Jika kita mencegahnya, dia malah tidak bisa hidup bahagia. Dia akan dihantui dengan kutukannya dan rasa bersalah ketika dia mencelakai orang disekitarnya. Kau ingin putri kita hidup dipenuhi penderitaan?"
"Tapi.."
"Kita hanya bisa menunggu." potong Tom. "Kau juga dengar presentase dia akan berhasil cukup tinggi. Kita tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu. Bersabarlah."
Tidak lama kemudian sebuah ketukan terdengar dari arah pintu rumah mereka. Pasangan Morse saling berpandang dan segera menuju ke depan untuk membukanya. Mereka berharap putri mereka yang muncul dengan senyuman cerianya. Mereka berharap putri mereka berhasil menyegel kutukan kekuatan emosi 'Raja Merah'. Dengan begitu putri mereka tidak perlu takut keluar dengan dirinya yang sebenarnya. Dia tidak perlu lagi menyamar ataupun berhati-hati dalam bersosialisi.
Putri mereka akan kembali tersenyum sama seperti saat mereka masih tinggal di Lousiana. Yang mereka inginkan hanyalah kebahagiaan putri mereka satu-satunya.
Namun harapan mereka yang melambung tinggi jatuh seketika saat melihat yang didepan rumah mereka bukan Katie. Tapi seorang tukang pos yang menyampaikan sebuah surat yang ditujukan untuk Katie.
Mereka sempat melihat pengirim surat tersebut. Jika seandainya Katie sendiri yang menerima surat ini, anak itu pasti akan sangat gembira sekali.
Mereka hendak berjalan kembali untuk duduk di kursi saat mendengar suara ketukan lagi. Langkah keduanya berhenti dan segera membuka pintu rumah mereka untuk kedua kalinya. Lagi-lagi harapan mereka lenyap saat melihat tidak ada siapa-siapa disana. Lalu siapa yang mengetuk pintu tadi?
Tiba-tiba sebuah kepala muncul dari samping sembari memainkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah. Senyumnya yang jahil memancarkan sinar mata yang ceria dan bahagia.
"KATIE!!" Pasangan Morse sama-sama berseru terkejut membuat Katie tertawa terbahak-bahak setelah menunjukkan diri seutuhnya dengan penampilannya yang baru.
Warna rambut Katie coklat gelap dengan highlight bewarna hitam kecoklatan disela-selanya. Sedangkan warna matanya, tidak ada warna kuning ataupun merah yang tersisa. Kini murni bewarna coklat dengan pupil hitam ditengahnya.
Katie memutar tubuhnya dengan riang dihadapan kedua orangtuanya sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana penampilanku?"
"Kau.. kau masih sama cantiknya." Kedua orangtua Katie segera memeluknya dengan haru. Akhirnya... akhirnya impian putrinya tercapai. Akhirnya Katleen Morse adalah anak gadis remaja normal seperti gadis umum lainnya.
Katie menceritakan pengalamannya selama proses penyegelan pada kedua orangtuanya. Katie memang masih belum sadar setelah berada didalam kamar panas semalaman. Namun suhu tubuhnya semakin lama semakin meningkat dan akhirnya dia terbangun setelah tidak sadarkan diri selama dua puluh jam.
Begitu terbangun, Katie merasakan lapar yang luar biasa hingga sanggup menghabiskan porsi untuk dua orang pria dewasa. Warna matanya berubah menjadi coklat sehingga dia tidak perlu memakai kontak lensa ataupun kacamata buram yang tebal.
Sementara rambutnya... warna rambutnya masih sama merah saat dia terbangun. Bedanya, kali ini dia bisa menyemir rambutnya di salon. Dan benar saja.. warna yang diberikan tidak luntur saat dibilas air.
Dan kini sudah sempurna penampilan seorang Katleen Morse yang baru.
"O, ya ada satu lagi. Surat ini baru saja datang sebelum kau tiba tadi." Shanley menyerahkan surat itu kepada Katie.
Dengan gugup Katie segera membuka amplop surat dan membaca isinya. Kemudian...
"KYAAAAAAAAA!!" teriak Katie dengan kegirangan. "Aku diterima di Trinity. Aku akan sekolah disana. Aku diterima disana mama, papa." jelas Katie dengan mengebu-ngebu saking senangnya.
Pasangan Morse juga turut senang untuknya dan mereka mengikuti Katie yang kini melompat-lompat kegirangan. Mereka bertiga melompat riang berputar dengan gembira seperti anak kecil. Tidak jauh dari sana umbra tersenyum melihat adegan tersebut dari jendela kaca.
"Umbra! Umbra! Coba lihat! Aku diterima di Trinity." Katie segera berlari mencari umbranya sambil menunjukkan surat yang dibacanya tadi.
Di luar rumahnya masih ada timbunan salju dan suhu di udara masih dingin dengan suhu lima derajat. Namun Katie bisa bertahan hanya dengan memakai jaket tebal... untuk pertama kalinya dia tidak jatuh sakit dan suaranya tidak menghilang.
"Hm. Aku mendengarnya tadi. Selamat."
Katie membuka kedua tangannya ke arah umbra seperti kebiasaan yang dilakukannya sewaktu dia masih kecil.
Umbra berdehem canggung berusaha menghindarinya.
"Kau sudah besar. Sepertinya kita tidak perlu melakukannya."
"Aku ingin melakukannya." rengek Katie sambil menggoyangkan kedua tangannya.
Umbra mendesah menyerah dan mendekat kearahnya. Dia membungkukkan badannya sedikit agar Katie bisa memeluk lehernya. Kemudian Katie memberi kecupan yang panjang di pipi umbranya.
"Muach.. aku sangat menyayangimu." lanjut Katie dengan mata bersinar-sinar.
Untuk pertama kalinya umbra melihat sinar mata yang begitu cerah dipenuhi harapan serta kebahagiaan di mata indah Katie. Tanpa menjauh, umbra mengangkat sebelah tangannya kebelakang kepala Katie. Kemudian...
Cup! Umbra memberi kecupan singkat di dahi Katie dengan penuh kasih sayang.
"Aku juga menyayangimu, Kei." ungkap umbra dengan senyuman lebar.
Senyuman Katie tidak kalah lebar dengan umbranya. Ini pertama kalinya umbra menciumnya. Katie sangat senang hari itu. Dia menjadi gadis normal, mendapat kabar dia diterima di Trinity, dan mendapatkan kecupan sayang dari umbranya yang sudah seperti kakaknya sendiri.
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan disepanjang ingatannya.