My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu

Kehilangan Sahabat



Kehilangan Sahabat

1"Sudah saatnya kau memberitahuku siapa yang memegang kuncinya. Atau kau lebih memilih melihat aku membelah leher nona keduamu didepan matamu? Kau yang pilih."     

Zero I menggertakkan gigi dengan marah saat mendengarnya. Semula saat dia melihat seorang gadis yang dibawa Aiden menemuinya, dia menyangka dirinya telah meninggal dan bertemu dengan nona pertama di Surga. Tapi... warna mata gadis ini sangat berbeda dari yang dia kenal.     

Selain warna mata yang berbeda; bentuk wajah, warna rambut serta tinggi badan sama persis seperti saat Chloe masih berusia dua puluhan. Barulah dia ingat, anak perempuan Chloeny sangat mirip dengan Chloe dan memiliki warna mata coklat terang seperti gadis ini. Seketika Zero langsung marah begitu mengenali sosok gadis ini.     

Selama ini dia membanggakan kemampuan timnya serta para Alpha. Walau kekuatan mereka terbatas semenjak program Stealth dinon-aktifkan, kemampuan kedua tim masih tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah dia tetap membisu tidak membongkar keberadaan kunci tersebut. Karena dia yakin... nona keduanya pasti tetap aman terlindungi.     

Sayangnya... apa yang diharapkannya tidak terjadi. Catherine sudah berada di sarang satu-satunya orang yang paling berbahaya di muka bumi ini. Nyawa nona keduanya sudah berada di ujung tanduk. Tidak diragukan lagi, belati yang menempel sempurna di leher gadis itu akan menancap lebih dalam lagi jika dia tidak memberitahukan jawaban yang diinginkan.     

Apakah dia harus memberitahukannya? Jika dia memberitahu pemegang kunci pengaktifan Stealth, tidak hanya Stealth akan jatuh ke tangan monster gila ini, sang pemegang kunci dan juga.. anaknya akan dalam bahaya.     

"Tuan. Aku tidak tahu kau siapa. Tapi aku ingin kau tahu. Aku tidak takut mati, karena itu jangan pernah memberitahunya. Aku sama sekali...Aaa.." Cathy berteriak saat merasakan tekanan pisau pada lehernya mulai berat. Darah mulai mengalir dari leher putihnya membuatnya menjerit kesekitan.     

Sayangnya dia lebih merasa kesakitan saat menjerit karena itu Cathy memilih menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakitnya. Kedua pipinya basah dibanjiri air matanya dan dia berusaha menahan isakannya agar tidak terlihat lemah.     

Sementara itu, Zero sudah tidak tega lagi melihat ekspresi kesakitan pada Cathy.     

"Aku akan memberitahumu. Lepaskan dia!" ujar Zero membuat Aiden tersenyum miring.     

Aiden memang mengendorkan tekanannya pada belatinya, tapi tidak benar-benar melepaskan Cathy.     

"Sekarang beritahu aku!"     

"Yang memegang kuncinya adalah..." Zero menghentikan kalimatnya saat melihat darah mengalir dari leher Cathy turun menuju ke sebuah kalung berbentuk oval bewarna merah.     

Kalung itu?! Sejak kapan nona keduanya memakai kalung itu? Dan lagi dimana Cathy menemukan kalung itu? Apakah Cathy tahu keistimewaan kalung itu?     

Ribuan pertanyaan memenuhi otaknya namun apa yang dia lakukan sangat kontras dengan apa yang dirasakannya. Saat ini Zero menyunggingkan senyum penuh kemenangan dan sinar matanya berubah menjadi penuh semangat dan harap. Dia tidak tahu sejak kapan Cathy memakai kalungnya, dan tidak tahu apakah kalung itu masih bisa berfungsi atau tidak; Zero tetap menunjukkan sikap percaya diri penuh.     

"Apa kau sudah gila? Kau ingin melihat kematian anggota keluargamu?" sekali lagi Aiden menekankan belatinya membuat Cathy meringis kesakitan.     

"Apa kau tahu kau baru saja membuat kesalahan fatal? Tidak seharusnya kau membawanya kemari." jawab Zero dengan nada penuh wibawa. Entah apa yang merasukinya sehingga tubuh ringkuhnya bisa bangkit berdiri dengan ringan.     

Dua pasang mata saling beradu pandang dengan tajam tanpa ada yang mau mengalah. Tadinya Aiden merasa percaya diri bahwa pertempuran ini ada dalam kendalinya. Namun saat melihat kepercayaan diri yang tiba-tiba muncul dalam diri Zero, Aiden mulai merasa ragu. Memangnya apa yang salah dalam membawa Cathy kemari?     

Tidak lama kemudian sebuah suara alarm yang sangat keras terdengar dari luar. Walau tidak pernah mendengar jenis suara alarm seperti itu, Cathy tahu suara itu menandakan kondisi tempat ini sedang dalam keadaan gawat.     

Cathy merasa lega saat tidak merasakan benda tajam di lehernya. Sayangnya, kelegaannya hanya bertahan sementara karena kini sebuah tangan besar mencekik lehernya membuatnya sulit bernapas.     

"BERANINYA KAU MEMBAWA PELACAK!!"     

Cathy meronta-ronta dengan panik apalagi saat merasakan punggungnya menempel ke dinding dan kedua kakinya agak terangkat di tengah udara. Rasa sakit pada lehernya menghilang digantikan rasa menyesakkan pada tenggorokannya. Kedua mata Cathy mengerjap dengan kalut karena kehabisan napas dan sama sekali tidak bisa menangkap apapun yang diucapkan pemilik tangan besar yang mencekik lehernya.     

Apakah dia akan mati disini? Apakah dia tidak akan bisa bertemu dengan Vincent dan keluarganya? Dia bahkan belum bertemu dengan ayah kandungnya!     

Marcel Alvianc sama sekali tidak bisa dihubungi dan menolak menemui siapapun selama berbulan-bulan. Tadinya Cathy bisa bersabar menunggu. Rencana awalnya dia akan menyelesaikan misi terakhir dari ibunya kemudian mengikuti Kinsey langsung ke pulau pribadi milik Marcel. Dengan begitu pertemuan mereka akan sangat mengharukan tanpa harus mengkhawatirkan Stealth atau apapun.     

Harusnya begitu. Tapi kalau tahu dia akan mati lebih dulu seperti ini, seharusnya dia memaksa untuk bertemu dengan ayah kandungnya.     

Ditambah lagi, dia belum menyelesaikan perasaan kebenciannya pada ayah angkatnya. Dia ingin bertemu dengan Daniel dan berdamai dengan masa lalunya. Apakah dia akan mati sambil membawa kebenciannya?     

Kemudian dia teringat akan saudara-saudaranya.. termasuk Kinsey. Kinsey baru saja memberitahu ketiga adiknya mengenai hubungan mereka. Dia masih ingin menghabiskan waktu bersama saudara-saudaranya layaknya keluarga secara utuh. Tapi sepertinya, keinginannya tidak akan terwujud. Dia hanya bisa berharap semua saudaranya tidak terlalu sedih dan segera pulih dari masa berkabung.     

Cathy juga membayangkan wajah Kitty yang selalu tersenyum dan bersikap apa adanya. Sahabatnya selalu bersikap lembut, terkadang terlihat bersemangat dan sekali-kali menunjukkan sikap ketomboiannya. Cathy sungguh berharap sebuah keajaiban muncul dan Kitty bisa selamat keluar dari tempat ini. Kalau tidak, dia tidak akan bisa mati dengan tenang.     

Yang terakhir wajah Vincent yang tersenyum lembut ke arahnya muncul di benaknya membuatnya mencucurkan air mata.     

Maafkan aku Vincent. Sepertinya kali ini kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Ucapnya dengan lirih dalam hati.     

Tepat selesai mengucapkan kalimat terakhir di pikirannya, kedua tangan Cathy berhenti meronta. Dia menyerah untuk melepaskan cengkeraman pada lehernya karena dia sendiri kehabisan energi untuk melawan. Kedua tangannya jatuh di kedua sisi tubuhnya dengan lemas dan kepalanya mulai terasa pusing.     

Tepat saat Cathy nyaris kehilangan kesadaran, cengkeraman terlepas darinya dan dia terbatuk-batuk sambil terjatuh duduk lemah sambil memegangi lehernya yang berdarah.     

Cathy berusaha menenangkan diri sambil mengatur pernapasannya. Akibat pusing yang dahsyat dia tidak bisa melihat sekitarnya dengan jelas tapi samar-samar dia mendengar sebuah perkelahian.     

Setelah berhasil memulihkan diri, barulah Cathy bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Kening Cathy mengernyit tidak mengerti.. Entah bagaimana caranya pria tua itu memutuskan rantai yang mengekang kedua tangan dan kakinya... dan kini bertarung dengan si 'iblis'?! Sebenarnya siapa pria tua ini?     

Cathy tidak tahu siapa, tapi dia yakin pria tua ini berada di pihaknya. Disaat Aiden berhasil menjatuhkan pria tua tadi, Cathy ingin membantu pria tua tersebut. Tanpa pikir panjang Cathy segera bangkit setelah mengambil batu besar yang kebetulan disebelahnya dan melemparkannya dengan kencang ke arah kepala Aiden.     

Aiden yang semula berencana menghunuskan pisaunya ke arah Zero terhenti. Dia memegangi kepalanya yang kini keluar darah akibat batu tadi. Aiden menatap Cathy dengan amarah yang besar disertai tatapan membunuh. Pria itu berbalik dan berjalan hendak mengubah targetnya membuat Cathy melangkah mundur sambil menelan ludah dengan susah payah.     

Cathy memberanikan diri untuk tidak memejamkan matanya saat Aiden menghampirinya. Pria tua yang dikiranya tadi telah tumbang segera bangkit berdiri dan menabrak tubuh Aiden menjauhinya.     

Aiden hendak kembali melawan dan membalas serangannya saat seseorang memanggilnya.     

"Tuan, kita telah dikepung. Anda harus pergi dari sini."     

Pandangan Aiden sama sekali tidak bergerak dari mata Zero yang masih bersikap waspada. Aiden ingin sekali membunuh pria tua itu saat ini juga, namun dia masih bisa berpikir jernih. Dia tidak boleh tertangkap sekarang. Aiden memutuskan membiarkan mereka dan melarikan diri untuk merencanakan serangan balas dendam.     

Begitu Aiden menghilang dari pandangan mereka, Zero terjatuh duduk dengan lemas. Cathy segera menghampirinya dengan tatapan khawatir.     

"Tuan, anda baik-baik saja?"     

Cathy kehabisan kata-kata dan tidak sanggup bergerak saat Zero merobek kain bajunya bagian bawah tanpa peringatan. Kemudian Zero mengikatkan kain sobekan tersebut ke arah lehernya untuk menghentikan pendarahannya.     

Cathy menyentuh pelan lehernya yang kini tidak terlalu terasa sakit.     

"Terima kasih."     

"Cepat pergi dari sini. Jangan percaya pada siapapun yang kau temui. Kau hanya bisa mempercayai orang yang memakai topeng serigala bewarna merah atau hitam."     

"Alpha atau Zero?" tebak Cathy.     

Pria tua itu mengangguk kemudian bangkit berdiri saat mendengar segerombolan langkah kaki mendekat ke arah mereka.     

"Aku akan membantumu menjadi umpan mereka. Kau harus segera keluar dari tempat ini dan menemui salah satunya."     

"Tapi aku harus menyelamatkan temanku dulu. Aku masih ingat dimana dia dikurung."     

Zero mengangguk dan kemudian menuntun Cathy keluar dari sel tahanan sambil menghajar sekelompok orang yang menyerangnya.     

Cathy tidak habis pikir bagaimana bisa seorang pria tua lemah masih sanggup bertarung dan bisa menang melawan mereka semua. Siapa pria tua ini sebenarnya?     

Setelah berhasil membuat tumbang lawannya, Zero membantu Cathy bersembunyi. Melihat kelompok orang yang baru dengan jumlah lebih besar, Zero menganjurkan untuk berpisah dari Cathy agar Zero bisa menjadi umpan. Cathy yang masih mengkhawatirkan sahabatnya, langsung menyetujuinya dan bergerak diam-diam menuju ke arah gudang.     

Cathy masih ingat cara untuk bergerak tanpa diketahui. Dia mengintip sebelum berbelok dan saat yakin tidak ada siapapun disana, barulah dia bergerak. Ajaibnya, dia berhasil kembali ke gudang tempat Kitty dikurung tanpa tertangkap.     

Namun hatinya berubah menjadi was-was saat melihat pintu gudang terbuka sedikit dan ada sebuah tangan yang terlentang di belakang pintu. Apa yang terjadi? Cathy melihat kesekelilingnya dan mengambil sebuah tongkat besi untuk dijadikan senjata pertahanannya.     

Dengan jantung berdegup dengan kencang dan tubuh yang gemetar, Cathy mendorong pintu dengan sangat perlahan.     

Jantung Cathy seakan berhenti berdetak saat melihat apa yang terpapar dihadapannya. Belasan tubuh pria terbaring mati tertembak menyebar di seluruh gudang, sementara Kitty telah terbaring tak berdaya di lantai dengan luka-luka baru.     

Hanya ada satu pria berpakaian hitam yang masih berdiri di sebelah tubuh Kitty memunggungi Cathy. Mata Cathy berkaca-kaca, apakah pria itu telah membunuh Kitty? Apakah dia baru saja kehilangan sahabat terbaiknya?     

Diliputi dengn emosi yang luar biasa dan sudah tidak tahan dengan semua yang dialaminya, Cathy mengayunkan tongkat besinya dan menyerang pria itu secara membabi buta sambil berteriak histeris. Tentu saja pria itu langsung bisa menghindarinya dengan gesit begitu mendengar suara teriakannya.     

Karena pandangannya kembali kabur akibat tangisannya, Cathy tidak tahu apakah serangannya mengenai lawannya atau tidak. Sayangnya, orang tersebut berhasil mengalahkannya dan menempis tongkat besinya melayang ke udara.     

Tepat disaat tongkat besinya terlempar dari tangannya, kakinya menjadi lemas tidak kuat menopang tubuhnya. Dia sadar, dia tidak mungkin bisa menang melawan musuhnya. Karena itu dia menyerah dan menatap tubuh sahabatnya sambil menyiapkan kematiannya diri sendiri. Dia memejamkan matanya mengantisipasi serangan apapun yang akan didapatinya.     

"Maafkan aku Vincent. Aku mencintaimu." ucapnya dengan sedih tepat sebelum pria itu menyerangnya dengan satu gerakan cepat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.